06 | Semanis Langit Senja

85 13 1
                                    

Sore ini Devan ada janji dengan seorang anak kecil berusia 10 tahun yang dia temui beberapa hari lalu di depan toko merah.

Anak itu sedang berjualan donat. Dirinya sudah melihatnya saat baru saja sampai di depan toko tersebut. Devan melirik ke arah dagangan yang dibawa oleh anak itu. Donat dengan dua rasa yang berbeda. Ada donat dengan meses cokelat sebagai topingnya maupun donat yang bertabur gula halus.

Seperti sekarang, Devan menghampiri anak itu yang rupanya masih ingat dirinya. Anak itu melambai dengan tatapan berbinar.

"Mas Devan!" panggil anak tersebut dengan senyum lebarnya yang tercetak di wajah lusuhnya itu.

"Halo, Ardi! Gimana jualan hari ini? Udah laku berapa, nih?" Devan ikut duduk di sebelah anak lelaki yang bernama Ardi tersebut.

"Baru laku lima, Mas. Tadi aku telat e ke sininya. Ibuk sakit, jadi harus temenin Ibuk ke puskesmas dulu tadi siang."

Devan yang mendengar penuturan Ardi merasa iba sekaligus bangga. Ardi di usianya yang masih 10 tahun terpaksa dewasa karena keadaan. Di saat anak-anak seusianya tengah asik bermain gim online bersama-sama, Ardi harus bantu Ibuk menjual donat-donat titipan itu. Ayah Ardi hanya seorang tukang becak di Malioboro yang kadang pulang sampai larut malam dengan uang yang sedikit.

"Nih, buat kamu makan." Satu kantong plastik putih berisi dua kotak olive chicken Devan keluarkan dari ranselnya.

Ardi melihat kotak itu dengan senang. "Wah, suwun e, Mas Devan! Kesampean juga aku makan ini! Nanti aku bawa pulang buat dimam bareng sama Ibuk dan Bapak!"

"Makan aja sekarang. Nanti buat Ibuk sama Bapak kita beli lagi, tenang aja."

Mana mungkin Devan tega melihat satu porsi itu untuk dimakan tig orang bersama. Kotak satunya lagi berisi kentang goreng dan nugget. Sebelum menemui Ardi, Devan sempat mampir dulu untuk membeli ayam goreng ini. Dia sudah bisa menebak kalau Ardi pasti belum makan sebelum pergi berjualan.

"Nanti ngerepotin Mas Devan. Katanya Ibuk, nggak boleh bikin repot orang, Mas."

Suara tawa Devan terdengar. Membuat Ardi menatapnya bingung. "Sama sekali nggak ngerepotin. Udah makan aja, nggak apa-apa. Pasti kamu belum makan pas tadi ke sini, kan?"

Ardi mengangguk malu-malu. "Tadi buru-buru ke sininya. Takut kesorean nanti malah nggak laku, Mas."

Tangan Devan terulur, menepuk pundak rapuh itu dengan pelan. "Rezeki nggak pernah ketuker, Di. Percaya sama Mas. Malah Mas malu sama kamu. Dulu pas seumuran kamu, Mas banyak mainnya. Banyak ngerengeknya ke Mami. Tapi kamu tanpa gengsi mau bantu Ibuk jualan di sini."

"Kalo nggak bantuin Ibuk jualan, nanti di rumah nggak bisa makan, Mas. Semoga aku pas besar nanti bisa kayak Mas Devan. Nggak pelit berbagi ke orang lain!" Ardi menyengir lebar menampilkan deretan gigi depannya yang ompong itu.

"Aamiin. Mas Devan bantu doa juga, deh buat kamu!"

"Ini aku sambil makan nggak apa-apa, Mas?"

"Makan aja daripada nahan laper." Devan tersenyum melihat Ardi yang mulai makan dengan lahap.

Anak itu terlihat kelaparan. Dia makan dengan cepat, Devan yang melihatnya tersentuh. Sebagai anak tunggal tentunya bertemu dengan Ardi menambah kenangan baru di hidupnya.

Cowok itu tidak pernah tahu rasanya memiliki seorang adik. Tapi Tuhan Maha Baik, Dia mengenalkan Ardi padanya pada pertemuan yang tidak pernah direncanakan.

Hampir setiap harinya, Devan selalu menyempatkan diri untuk membeli donat-donat yang Ardi jual. Entah selepas pulang dari kampus atau pun kelar mengikuti rapat organisasi yang Devan ikuti. Kadang dia mengajak Chika atau Aldo ke sini.

Kosan 210Where stories live. Discover now