09 | Kok Bisa?

56 9 0
                                    

"Takdir sudah tertulis tapi mengapa semesta seolah selalu mengajak bercanda? Pada kebetulan mana pun, aku tak masalah bila harus bertemu kamu lagi." -S.A

♪ Rewrite The Stars - James Arthur, Anne Marrie ♪

***

Sore hari ini cukup cerah. Senja pun terlihat lebih indah dari biasanya. Warna jingga yang perlahan berganti menjadi keunguan menemani sore Naufal kali ini. Baru saja cowok itu menyelesaikan pekerjaannya sebagai guru les privat bahasa Inggris. Berkat bantuan salah satu teman sekelasnya, akhirnya Naufal menjalani hari-harinya selain menjadi mahasiswa tingkat akhir yaitu membuka privat seminggu untuk 4 kali pertemuan.

Naufal mengajar di sekitar perumahan tempat tinggal temannya itu. Tidak banyak, hanya beberapa anak yang dia ajarkan. Tapi, uang perbulannya sangat cukup untuk menambah tabungan mikin Naufal. Tahun ini cowok itu memang sedang bergelut hebat dengan tugas akhirnya sebagai seorang mahasiswa, tapi tidak mengurungkan niatnya untuk tetap mengajar les privat.

Biasanya jika les privatnya selesai, Naufal akan langsung pulang ke kosan dan beristirahat. Berhubung jadwal les hanya seminggu 4 kali, jadi dia memang akan menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumah temannya itu.

"Capek, gue hari ini, Fal." Temannya mengembuskan napas lelah. Hari ini dia disibukkan dengan tumpukan tugas dari Sang dosen.

"Ya, namanya juga kuliah. Nikmatin aja."

Keduanya sedang berada di rooftop rumah. Pemandang dari atas sangat indah. Entah sejak kapan Naufal jadi menyukai senja dengan segala keindahannya yang bersifat sementara.

"Gimana sama lo? Masih tetep mau lanjutin privat? Skripsi lo nggak keganggu, nih?"

Naufal hanya tersenyum. "Masih bisa gue handle, Ki. Tenang aja."

"Lo emang nggak bisa capek kayaknya, ya?" Temannya itu hanya dapat menggelengkan kepalanya. Skripsi itu berat, Naufal juga bukan dari kalangan orang kurang mampu tapi anak itu kekeuh untuk tetap menjalankan les privatnya.

"Bisa, lah. Gue ini masih manusia. Cuma ya, seru aja bisa ngajarin bocah-bocah itu. Selalu ada cerita yang nggak terduga keluar dari mulut mereka."

Saki hanya manggut-manggut mengerti. "Gue kemarin ketemu Sarah di Gramed. Sendirian juga dia, akhirnya kami ngobrol bentar."

Ah, nama itu. Nama yang sudah lama sekali Naufal kubur dalam-dalam. Beberapa tahun terlewati sampai hari ini kembali diingatkan lagi soal si pemilik nama tersebut.

Sebuah nama yang dulunya menjadi salah satu nama paling favorit untuk Naufal.

"Terus kenape, Ki?"

Saki sedikit kaget, Naufal sama sekali sudah tidak tertarik ketika mendengar nama itu lagi. "Sarah, Fal. Ini Sarah?"

Naufal mengangguk-angguk, tanda dia mengerti. "Iya, terus kenapa?"

"Buset, serius udah move on berarti nih, lo?"

Pandangan Naufal masih menatap lurus ke arah gurat-gurat cahaya matahari yang tersapu di langit sana, lalu kekehan pelan keluar dari mulutnya. "Udah. Emang dikiranya gue belom bisa move on sama sekali, ya?"

"Anjir! Kudu dirayain ini mah!" Saki jadi berseru histeris. "Udah nggak ngarepin dia lagi, nih?"

"Terlalu banyak berharap semakin melukai hati gue. Percuma aja. Sebanyak apa pun gue meminta dia balik ke gue, kalo emang takdir belum mengizinkan, gue nggak bisa berbuat banyak. Lagian gue sama dia nggak bisa bersatu, Ki."

Kosan 210Where stories live. Discover now