12 | Sakit

54 6 0
                                    

Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Pagi ini suara kicau burung sangat terdengar jelas. Chika bangun pada pukul 6 pagi seperti biasanya. Suasana di Jogja sangat berkebalikan dengan Jakarta. Itulah yang Chika rasakan selama dia tinggal di sini. Tidak ada suara hiruk pikuk orang-orang yang mengejar waktu untuk segera sampai di tujuan. Tidak ada suara klakson yang bersahutan apalagi suara makian karena terjebak macet.

Hanya ada ketenangan, tentram serta damai di setiap pagi harinya selama di sini. Dari seluruh kamar di rumah kosan, jendela kamar Chika adalah jendela yang paling tepat menghadap ke arah halaman belakang rumah. Terdapat space untuk dijadikan jemuran di sisi kanan serta sisi kirinya dijadikan tempat untuk bersantai oleh anak-anak. Meja dan kursi kayu sengaja ditempatkan di dekat pohon mahoni yang perlahan sudah mulai rimbun daunnya. Supaya saat mereka bersantai tidak terlalu panas sebab sinar matahari terhalau oleh lebatnya dedaunan serta dahan yang tinggi dari pohon tersebut.

Chika baru saja bangun lalu membuka jendelanya dan menatap ke arah pohon tersebut. Udara pagi yang masuk ke dalam kamar membuat pikirannya tenang. Wangi dedaunan bercampur dengan aroma embun yang menguar menyapa indera penciuman. Menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.

Dia tersenyum lalu keluar menuju kamar mandi yang terletak di sebelah kanan dapur. Menyelesaikan rutinitas pagi harinya lalu bersiap untuk olahraga ringan di halaman belakang.

Kontras sekali dengan halaman belakang anak-anak cowok di sebelah. Halaman belakang milik anak-anak cewek sangat rapi dan hijau. Karena mereka kompak membersihkannya di akhir pekan. Rumput hijau tumbuh subur dan rapi berbeda dengan kondisi yang ada di sebelah. Begitu gersang seolah gurun sahara.

Matras yoga dan laptop ditentengnya kemudian dia menggelar matras tersebut. Menyalakan laptopnya dan membuka youtube, mencari video exercise dan body stretching.

Meregangkan tubuh membuat persendiannya yang terasa kaku menjadi lebih rileks dari sebelumnya. Chika memulai dengan gerakan sederhana.

Dari pintu dapur Letta melihatnya. Cewek itu masuk kembali ke dalam kamarnya lalu keluar membawa matras yang berbeda warna dengan milik Chika.

"Ih, gue juga mau ikutan!" Letta tahu-tahu menimbrung.

Membuat Chika menoleh pelan ke arahnya. "Gue udah setengah jalan, aelah, Ta. Masa diulang, sih?"

Letta terkekeh. "Ya, udah. Lo kelarin abis itu gue gantian."

"Oke. Tunggu, ya."

"Lo semalem denger nggak, Chik?"

"Denger apa?" Chika yang sedang berada pada posisi plank bertanya.

"Anak-anak cowok pada teriak."

"Di mana-mana juga sama. Anak cowok emang kalo ngobrol suka keras, kan suaranya?"

"Ini mah teriaknya ketakutan! Bukan ketawa keras karena lagi bercandaan."

Chika kembali duduk. "Masa, sih? Takut kenapa coba?"

Letta mengedikkan bahu. "Ngelihat setan kali, ya?"

"Nah, dikerjain, tuh! Semalem kan pada ngobrolin setan segala. Kedenger tuh, sama setannya."

"Serem amat? Tapi, lucu, sih. Masa digangguinnya menjelang anak-anak udah pada mau lulus, ye. Kayaknya sedih gitu ditinggal kita semua."

"Kangen karena nggak ada yang seberisik kita pasti."

"Coba ntar deh, gue tanyain mereka. Ngelihat apaan mereka sampe heboh begitu."

Selesai peregangan otot-otot dan persendian, Chika duduk sambil meluruskan kakinya. Sementara Letta memuai pemanasan ringan sebelum melakukan olahraga. Kali ini, Letta memilih yoga tipis-tipis sebagai olahraganya untuk mengawali Sabtu pagi yang cerah ini.

Kosan 210Where stories live. Discover now