11 | Perempuan Berbaju Putih

46 7 0
                                    


Sinar matahari menembus tirai berwarna putih yang menutupi jendela kaca itu. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Devan mengerang pelan saat sorot itu mengenai wajahnya. Membuatnya terbangun sambil mencebik sebal.

Dia baru bisa tidur selepas shalat shubuh tadi. Semalaman dia begadang menyelesaikan tugas akhirnya. Samar, dia mendengar suara orang memasak dari dapur, mungkin Naufal atau Farris sedang membuat sarapan.

Beberapa hari yang lalu, Mami menelepon Devan. Menanyakan sudah sampai mana tugas yang dia kerjakan. Devan mengeluh dan merasa salah mengambil langkah dalam memilih salah satu materi untuk diperdalam. Mami hanya tertawa dalam sambungan telepon tersebut. Mami tahu, kalau Devan sangat menyukai visualisasi yang tergambar dalam bentuk apa pun. Dari kecil, Devan sudah memiliki ketertarikan pada segala macam spektrum warna-warni yang tidak biasa.

Dia akan menumpahkannya pada sebuah buku gambar yang dibelikan Mami dari toko buku langganan. Imajinasinya tertuang dalam kertas putih itu. Menciptakan berbagai macam gambar keren, padahal saat itu Devan baru berumur 8 tahun.

"Emang apa yang kamu lagi kerjain sekarang, sih?" Mami bertanya saat itu.

"Aku pilih desain grafis, Mi. Aku kepikiran mau buat buku ilustrasi. Semua karakter yang tadinya aku pede bakal jadi keren ternyata malah bikin aku tambah pusing." Devan mengeluh di telepon.

Mami lagi-lagi tertawa mendengarnya. Anak semata wayangnya itu tetaplah seorang anak kecil di matanya.

"Istirahat dulu aja. Mami kan, nggak nyuruh kamu buru-buru lulus juga."

"Iya, Mi."

"Setelah kuliahmu selesai, kamu bebas memilih mau bekerja di mana pun. Ikuti kata hatimu aja. Selagi buat kamu senang, Mami juga ikut senang."

"Nggak harus buka perusahaan kayak Koh Liam kan, Mi?"

"Enggak, dong." Mami terkekeh.

"Mami dan Papi nggak mewajibkan kamu berbisnis. Kamu punya bakat dan kemampuan, kembangankan itu. Kalau bisa kejar pekerjaan impianmu itu sampai ke luar negeri."

Devan tertawa, hatinya lega. Bercerita dengan Mami semuanya jadi terasa ringan. "Oke, Mi! Makasih, ya."

"Anytime, anak Mami."

Kertas-kertas yang menumpuk di atas meja belajar Devan tampak kacau. Pena, tab, alat mewarnai semuanya berantakan. Lagi dan lagi dia kembali berdecak. Dengan langkah gontai dia berjalan menuju meja belajarnya itu. Mengambil sebuah kabel colokan untuk tab-nya yang ternyata sudah kehabisan daya sejak semalam.

 "Van, nyarap heula geura." suara Farris terdengar dari depan pintu kamar Devan.

"Yaaa, tunggu aja di meja makan." Devan membalasnya dengan sedikit berteriak agar terdengar Farris.

"Oke. Nopal masak omelet, nih! Buruan, nanti keabisan."

Mendengar informasi yang Farris berikan membuat Devan tertawa pelan. Itu makanan favoritnya.

Setelah meja terlihat lebih rapi dari sebelumnya, Devan keluar dari kamar. Menuju kamar mandi yang berada di sebelah kanan dapur rumah. Dia melihat sudah ada Naufal, Jazmi, dan Farris duduk di meja makan. Bersiap mengambil nasi yang baru saja matang dan megepulkan uap panas.

"Sarapan sek, Van." Jazmi mengajaknya untuk makan bersama. Devan mengangguk tapi dia memutuskan untuk sikat gigi terlebih dahulu.

Selesai menggosok gigi, Devan bergabung ke meja makan. Aldo juga baru saja ikut bergabung dengan muka bantalnya. Sama seperti Devan, cowok itu baru saja bangun tidur.

Kosan 210Where stories live. Discover now