Murderer ⚠️

7.8K 376 64
                                    

Lee Haechan adalah seorang pekerja lepas di sebuah café dan minimarket di kota Seoul. Haechan yang masih berusia 20 tahun sebenarnya ingin melanjutkan pendidikannya, namun biayanya sangat besar. Selain itu, otak Haechan tidak sepintar itu untuk mencari dan mendapatkan beasiswa di Universitas. Haechan saat ini hanya dapat bekerja dan menyisihkan penghasilannya untuk biaya pendidikannya nanti. Tidak apa terlambat memulai kuliahnya nanti, bukankah untuk belajar itu seseorang tidak perlu memandang umur, benar tidak?

Orangtua Haechan sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, tidak meninggalkan warisan apapun.  Haechan bersyukur karena kedua orangtuanya tidak meninggalkan hutang. Rumah kontrakan keluarganya dirasa telalu besar jika Haechan tinggal sendirian, jadi Haechan memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen satu kamar murah yang letaknya berada tidak terlalu jauh dari pusat kota Seoul. Bangunannya memang tidak terlalu bagus, Haechan harus memoles dindingnya yang retak dan mendekor seadanya agar kamar apartemennya itu menjadi sedikit lebih nyaman untuk ditinggali.

Hari ini terasa berjalan seperti biasanya,  pengunjung langganan café yang sama tetap memesan secangkir espresso dan meninggalkan tip yang cukup lumayan bagi Haechan. Dan Haechan masih tetap diperbolehkan membawa pulang beberapa kue yang tersisa karena tidak terjual dari café tersebut.  Café yang memperkerjakan Haechan memiliki prinsip fresh food only served for one day.

Haechan melangkahkan kaki menuju apartemennya, berhenti karena mendapati seorang yang dikenalnya tampak berdiri di depan bangunan  bertingkat tujuh tersebut. Menunggunya?

“Lee Jeno, sedang apa kau disini?”

Pria yang menggunakan hoodie berwarna biru navy itu menoleh saat namanya dipanggil dan nyengir memperlihatkan deretan giginya yang tertata rapi.

“Aku akan menginap.”

“Tidak kuijinkan. Pulang sana Jen…”

Haechan masuk ke dalam apartemennya tanpa mempedulikan Jeno, dan sama seperti Haechan.. Jeno juga tidak mempedulikan ucapan Haechan, mengikuti Haechan yang berjalan di lorong apartemennya menuju lift. Jeno sedikit meringis mengingat apakah lift yang digunakan di apartemen ini dirawat atau bahkan di servis dengan baik atau tidak. Bayangkan jika lift rongsok ini tiba-tiba berhenti di persimpangan lantai. Gila mengerikan sekali. Jeno bergidik sendiri membayangkannya.

“Ish, ikut naik tidak? Kamarku di lantai 6 jika kau memilih menaiki tangga suram tanpa lampu itu.”

Dengan berat hati Jeno masuk ke dalam kotak besi berukuran 2 meter x 2 meter itu. Tombolnya saja tampak sudah berkarat dan lampu penanda di tiap tombol lantai sebagian sudah tidak menyala. Jeno hampir selalu menaiki tangga jika bertamu ke apartemen Haechan, hanya saja akhir-akhir ini terpaksa harus menggunakan lift karena lampu di tangga lantai 3, 4 dan 5 semuanya padam. Konslet, dan pemilik apartemen tidak bersusah payah mengganti lampunya. Sewanya saja sudah murah, ingin mengganti lampu? Ganti saja sendiri jika kau membutuhkannya, kurang lebih begitu pemikiran dari sang pemilik.

Jeglek.

“Astaga! Chan kita terjebak di dalam lift… ya Tuhan bagaimana ini? Haechan jangan diam saja!!”

Yang dipanggil hanya bergeming. Memperhatikan tingkah pria tampan dengan tubuh menjulang dan kekar yang tampak kalang kabut sendiri karena merasakan liftnya sedikit turun dan diam. Macet.

“Haechan! Apa tombol panggilan ini berfungsi?”

Sebelum jemari Jeno menekan tombol dengan lambang ikon telepon, lengan Haechan menahannya.

“Tunggu saja beberapa detik lagi. Liftnya akan kembali bergerak dan naik.”

Jeno terdiam dan menuruti ucapan Haechan, benar saja. Tidak lama kemudian lift itu kembali bergerak naik. Jeno menatap ngeri pada Haechan, melihat sikap Haechan yang tampak biasa saja dan tidak panik sedikitpun.. Jeno dapat menyimpulkan bahwa lift yang dinaikinya ini memang sering mengalami kemacetan seperti itu. Sehingga dianggap sudah biasa bagi penghuni apartemen tersebut. Jeno mengusap keringat di dahinya dan melompat keluar dari lift saat lift itu berhenti di lantai yang dituju, sambil melipat tangan berdoa mengucap syukur karena diluputkan dari tragedi lift rongsokan yang mungkin saja terjadi.

WITNESS [END]Where stories live. Discover now