Dream? ⚠️

3K 223 39
                                    

Haechan hari ini memutuskan untuk tetap bertemu dengan petugas kepolisian yang bernama Nakamoto Yuta pukul empat sore di café tempatnya bekerja. Haechan merasa sedikit linglung hari ini setelah mendengar dari Mark, tetangganya yang mengatakan bahwa semalam Mark melihat Haechan sedang berjalan sambil tertidur di balkon. Haechan jadi kembali berpikir apa semuanya memang mimpi?

"Hae—chan?"

Haechan yang sedang berdiri di balik kasir, mendongak dan mendapati petugas polisi yang memberinya kartu nama pada saat penemuan mayat perempuan yang terbunuh di taman. Haechan melirik tag nama petugas tersebut dan beranjak dari kursi tempatnya duduk.

"Ah, halo.. maaf karena aku masih bekerja, tunggu sebentar ya karena aku akan memanggil temanku dulu untuk mengganti posisiku. Duduklah di meja nomor tiga belas itu, tuan."

Haechan bergegas masuk ke ruang khusus karyawan untuk memanggil rekan kerjanya dan melepas apron pegawainya. Tidak sampai lima menit, Haechan muncul dan menghampiri petugas polisi yang benama Yuta tersebut sambil membawa segelas lemon tea hangat. Cocok karena sore ini cuacanya cukup dingin.

"Maaf membuatmu menunggu, tuan."

"Namaku Yuta, panggil seperti itu saja."

"Tapi sepertinya umurmu lebih tua dariku. Memanggil nama terdengar tidak sopan.."

"Kalau begitu, hyung saja ya? Aku masih terlalu muda untuk kau sebut sebagai ahjussi, hahaha" Petugas polisi itu tertawa lebar membuat Haechan yang awalnya tampak canggung merasa lebih rileks. Akhir-akhir ini Haechan selalu tegang dan banyak pikiran.

"Nah, jadi informasi apa yang ingin kau sampaikan padaku, Haechan?" Yuta bertanya sambil menyeruput lemon tea yang masih mengeluarkan kepulan uap panas dari gelas yang berhiaskan logo berbentuk bulan setengah penuh dengan tulisan Moonlight yang dicetak miring.

Haechan menautkan jemarinya. Gugup melanda. Kerongkongannya terasa kering dan tercekat.

"Hmm.. Y-yuta Hyung.. sebenarnya malam dimana perempuan yang ditemukan tewas terbunuh di taman itu.. aku melihatnya..."

Yuta meletakkan gelas tinggi tersebut dengan perlahan sambil tetap memandangi mata Haechan yang tampak bergerak kesana kemari, melarikan diri dari tatapan Yuta.

"Meli—hat apa?"

"Pelakunya... pria itu.. dia, dia... membawa palu dan memukuli perempuan malang tersebut berkali-kali... sialnya, saat itu sepertinya dia melihatku! Aku... aku..."

Yuta menautkan alisnya, melihat Haechan yang bercerita dengan suara terpatah-patah, bola mata melebar dan tangan yang gemetar. Yuta beringsut mendekatkan kursinya pada Haechan, menepuk pundak Haechan perlahan. Membuat atensi Haechan tertuju pada petugas polisi yang masih memakai seragamnya.

"Aku tidak berbohong... pria yang kalian tangkap sebagai pelakunya... dia.. berbeda... bukan pria bermasker yang aku lihat malam itu. Kalian salah menangkap orang!"

"Kau seratus persen yakin kau melihat pelakunya? Maksudku. Mungkin kau hanya melihat siluetnya saja? Bermasker, dan kenapa kau yakin sekali kami salah menangkap orang jika pelakunya sendiri yang mengakui dan menyerahkan dirinya sendiri pada kami?"

Haechan terkesiap. Menyerahkan diri? Mengaku? Haechan semakin meremat-remat jemarinya sampai merasa kebas. Kali ini Haechan mengangkat wajahnya, menatap manik mata Yuta yang tampak penasaran dengan cerita Haechan.

"K-karena.. sejak malam aku melihat peristiwa itu.. aku.. ah, maksudku.. dia, pria bermasker itu hampir setiap hari datang... ke kamarku.. dia.. dia.."

Yuta memusatkan seluruh perhatiannya pada Haechan, menunggu kalimat yang akan dilontarkan Haechan kepadanya. "Dia.. kenapa? Melukaimu?"

WITNESS [END]Where stories live. Discover now