1. Shao Bain Iovis

55 16 0
                                    

•°•°•




Ini bukan kali pertamanya Bain merasakan hal yang sama. Perasaan di mana ketika bertemu dengan gadis itu, otak Bain seperti berhenti bekerja, jantungnya seakan diam tak berdetak. Seperti ada kekuatan lain yang membuat Bain seolah mendadak mati sejenak.

Entah sampai kapan Bain harus hidup di antara dua pilihan yaitu; meninggalkan atau ditinggalkan oleh gadis itu. Bain merasa bersalah, karena kehadirannya membuat beban gadis itu bertambah berat. Menurut Bain, tak ada yang lebih berat dari kehilangan nyawanya sendiri lalu meninggalkan mereka, atau harus kehilangan seseorang yang kita cintai.

Seperti saat ini, setelah bertemu dengan gadis yang ia panggil dengan nama Esha, Bain merasakan energi dalam tubuhnya perlahan melemah. Itu sebabnya Bain memutuskan untuk pergi meninggalkan Esha bersama Elmaara di kebun apel milik petani Amen. Pemuda ini takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Bain memilih untuk kembali ke rumahnya yang berada di sebelah timur kota South. Jarak rumahnya dengan kediaman Xan Martis—ayah Esha—cukup jauh. Esha tinggal di kota South bagian selatan.

Pemuda bertubuh jangkung ini duduk meluruskan kakinya sembari bersandar pada salah satu pohon apel yang ada di pojok belakang rumahnya. Kota South memang dikenal dengan kota apel. Jika kalian berkunjung ke kota South, maka kalian akan menemukan pohon apel di manapun kalian berada.

"Kenapa harus seperti ini? Apa ada hubungannya antara Iovis dan Veneris?" gumam Bain sembari menatap lurus ke depan. "Maafkan aku, Esha. Ini semua pasti salahku!"

Lagi-lagi Bain terus menyalahkan dirinya sendiri. Ia mengaku salah karena jika saja Bain tidak datang di kehidupan Esha, mungkin dirinya tidak akan merasakan apa yang dirasakannya saat ini. Bain mengaku salah karena dirinya terlalu egois untuk mengikuti keinginannya berteman dengan gadis itu. Bahkan, Bain sendiri yang berjanji pada Xan Martis bahwa dirinya mampu menjaga putri satu-satunya.

Tapi, apa yang terjadi? Menjaganya? Bahkan dirinya sendiri tak mampu melawan ketentuan yang menjadikannya harus menjauh perlahan dari Esha. "Aku memang bodoh!" teriak Bain marah.

Dengan berteriak sembari memukul pohon yang dijadikan sandarannya itu sama sekali tidak merubah nasibnya. Dalam hatinya terus berkecamuk, Bain terus memikirkan cara untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Egois jika dirinya mengatakan bahwa ia dan Esha hanya sekedar berteman dekat. Tidak! Hubungan seorang teman tidak selamanya berjalan mulus tanpa timbulnya sebuah perasaan.

Sementara hari mulai petang, Bain justru masih ingin berlama-lama di sini. Kini Bain merebahkan tubuhnya di atas rumput-rumput hijau kecil yang tumbuh memenuhi pekarangan belakang rumahnya. Ditatapnya senja yang perlahan mulai tenggelam. Cahayanya mulai meredup hingga menciptakan warna jingga bercampur merah kehitaman.

Kembali Bain menghembuskan napasnya pelan. Biasanya, ia akan berburu senja di lereng bukit dekat hutan selatan milik petani Amen bersama Esha. Yang terakhir kalinya ialah saat Esha mendadak membunuh para burung yang beterbangan di langit, dengan alasan burung-burung itu mengganggu pandangannya.

Bain tahu betul, Esha tidak pernah bersikap seperti itu sebelumnya. Esha tidak sekasar itu. Dia adalah gadis yang lembut. Entah apa yang membuatnya mendadak bersikap kasar pada hewan tak berdosa itu. Bahkan, Esha sempat meninggalkannya begitu saja setelah gadis itu berbicara keras pada Bain. "Apakah itu ada hubungannya denganku?"

"Bangunlah, Bain! Ini sudah petang, mau sampai kapan kau tidur di sana?" teriak seorang pria yang diketahui adalah ayah Bain—Shao Dies Lunae.

Bain sontak menoleh mencari keberadaan ayahnya. Pemuda ini merotasi bola matanya malas kala mendapati ayahnya berkacak pinggang di pintu belakang. "Tunggu sebentar, Ayah! Sebentar lagi sampai si senja benar-benar tenggelam!"

"Kau buta? Lihatlah, senja sudah tak nampak lagi! Cepat masuk atau kau tidak kuizinkan untuk menemui Esha lagi besok!"

Mendengar perkataan Shao yang membawa-bawa nama Esha pun membuat Bain mendengus kesal. Ia paling benci jika ada seseorang yang melibatkan Esha saat mengancamnya. "Jika bukan ayahku, sudah kupastikan kau akan kujadikan persembahan di air terjun Southeast!"

Bain bangkit dari tidurnya yang begitu nyaman meskipun ia tidak berada di kasur yang empuk. Sebagai putra yang tauladan, ia harus menuruti perkataan orang tuanya. Bain benci jika harus mengingat kata-kata mendiang ibunya saat ia terus-menerus mengacuhkan perintah ayahnya.

"Jika ibu sudah tiada nanti, turuti apa kata ayahmu dan jangan menjadi anak pembangkang!" tutur Ema Saturni.

Sedangkan Shao hanya menggelengkan kepalanya heran melihat tingkah putra semata wayangnya itu. "Haruskah aku membawa nama Esha setiap aku mengancamnya?" gumam Shao sembari terkekeh pelan.

Shao kembali melanjutkan aktivitasnya yaitu memasak hidangan untuk makan malam bersama putranya. Siapa lagi kalau bukan Shao sendiri yang memasak? Putranya bahkan pernah hampir membakar rumah ini jika saja Shao tidak kembali di waktu yang tepat.

Selesai membersihkan tubuhnya, Bain segera mengambil duduk di kursi meja makan. Bersamaan dengan itu pula Shao telah menyelesaikan masakannya. Keduanya pun segera bersiap-siap untuk menyantap makan malam mereka.

Menurut Bain, masakan Shao memang tak pernah gagal. Buktinya, pemuda ini berhasil menghabiskan semangkuk besar sup daging tanpa menyisakan bekas sedikit pun. Lagi-lagi Shao hanya menggeleng pelan melihat kelakuan Bain.

"Ayah, apa ada hubungan tertentu di antara Iovis dan Veneris?" tanya Bain mendadak.

Shao lebih dulu melanjutkan aktivitasnya menenggak segelas air putih. Kemudian, ia menatap putranya dengan tatapan yang menunjukkan tanda tanya mengenai pertanyaan Bain. "Maksudku, apa ada sesuatu yang besar jika Iovis dan Veneris dipertemukan?" lanjut Bain.

"Kau bertanya seperti itu, memangnya ada apa? Apa yang terjadi padamu?"

"Aku terpaksa meninggalkan Esha di kebun paman Amen bersama Elmaara tadi. Kau tau, Ayah? Aku merasa seperti mendadak mati saat bertemu Esha. Seperti ada sesuatu yang menyerap kekuatanku secara paksa sampai rasanya semakin lama tubuhku seperti kehilangan separuh tenagaku."

Shao kemudian mengunci bibirnya sejenak. Iris hitam pekatnya menerobos jauh ke depan sana. "Apa Esha juga menampakkan reaksi yang sama sepertimu, Bain?"

"Aku tidak sempat melihatnya, Ayah! Jika saja tubuhku semakin lama tidak semakin lemah, mungkin aku akan terus bersama Esha hingga malam," jelas Bain dengan tatapannya yang begitu cemas hingga memaksa ayahnya untuk menjawab pertanyaan Bain yang sedang dilanda kebingungan.

"Ini hari Jumat kalau kau lupa, Bain. Seharusnya kau tidak bertemu dengan Ehsa. Tapi, kau justru pergi bersama Esha!"


°•°•°





Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz