4. Ritual Rutin

10 9 0
                                    

•°•°•

Bain tampak sedang terduduk di pendopo samping kiri halaman belakang yang di sekitarnya ditumbuhi pohon-pohon apel milik Esha. Netranya menelisik ratusan bintang yang tercecer di langit membuat suasana malam ini begitu indah. Hembusan angin turut menemani Bain yang pikirannya dipenuhi oleh puluhan masalah hingga membuatnya ingin melepas kepalanya barang sejenak.

"Permisi! Bain, apa kau ada di sana?!" Seorang pemuda berteriak dari luar pagar keliling membuat Bain reflek mengangkat tangan kirinya. Muncul cahaya biru yang memancar dari telapak tangannya sebagai kode jawaban darinya. Ia paham betul dengan pemilik suara itu hingga Bain memutuskan untuk tetap duduk selagi menunggu para perusuh itu datang. "Lambat!"

"Hei! Sejak kapan kau di sini?" Salah seorang pemuda datang sembari menampar bahu Bain cukup keras. Mungkin ia pikir cahaya itu milik Esha, yang rupanya adalah milik Bain.

Tentu saja Bain tak terima menatap si tersangka dengan tatapan sengitnya. "Bisakah sekali saja kau tidak menyentuh bahuku dengan cara seperti itu?"

Sedangkan yang ditatap hanya menampakan senyum tak berdosanya. Ya. Mereka yang datang ialah siapa lagi kalau bukan; Eizhar, Eithan, dan juga Elmaara. Merekalah kerabat dekat alias sahabat Bain dan tentunya Esha.

"Di mana Xiela?" tanya Elmaara. Mata gadis pemilik rambut berwarna biru gelap itu mencari keberadaan sahabat perempuan satu-satunya yang ia miliki.

"Aku di sini." Keempat remaja itu sontak menoleh ke sumber suara. Di mana saat mereka menemukan cahaya biru yang muncul di salah satu pohon apel di depan pendopo tempat mereka berkumpul. Dari suaranya saja mereka sudah paham kalau itu adalah Esha.

"Kenapa kalian lambat sekali?" tanya Esha dengan mulutnya yang masih sibuk mengunyah apel.

Bain yang mendengarnya pun hanya tersenyum kecil. Ia sudah terbiasa dengan mulut Esha yang gemar berbicara tanpa basa basi. Sedangkan Eizhar menatap sinis kepada Esha sembari melipat kedua tangannya di depan dada. "Setidaknya kau tidak lupa dengan jarak rumah kami dari tempat ini, Xiela."

Esha terkekeh sinis. "Setidaknya kau juga tidak lupa dengan kemampuan yang dimiliki saudara kembarmu itu, Ar," balasnya balik menyindir.

"Sudahlah! Ayo, kapan kita akan berangkat?" sela Bain yang mulai jengah dengan kegiatan sindir menyindir itu.

"Sekarang!" Bukan Esha yang mengatakannya, melainkan Elmaara. "Gunakan teleportasimu, Eithan!"

"Xiela cepatlah turun!" teriak Eithan.

Esha pun menuruti perintah Eithan, gadis itu segera turun dari pohon apel dan nampaknya ia membawa dua apel di tangannya. Kemudian, Bain beserta empat remaja itu saling merapat membentuk sebuah lingkaran. Eithan yang paham akan tugasnya pun segera mengaktifkan teleportasinya.

Berkat bantuan teleportasi Eithan, mereka tidak lagi membutuhkan yang waktu lama untuk sampai di air terjun kota Southeast. Suara air yang terjatuh dari ketinggian itu langsung merambat ke gendang telinga bersamaan dengan angin yang berhembus sedikit kencang menerpa wajah kelima remaja itu.

Suara hewan malam turut  menemani para remaja yang hendak melakukan ritual rutinnya itu. Cahaya bulan yang terang membuat suasana malam ini begitu indah. Mereka bahkan mampu melihat cukup jelas apapun yang berada di sekitarnya tanpa bantuan penerangan.

Air terjun yang berada di sebelah timur kota Southeast ini memiliki ketinggian kurang lebih 25 meter. Airnya begitu jernih dan tidak terlalu dingin. Di sekitaran air terjun itu tumbuh bunga bunga kecil berwarna putih yang hanya mekar di malam hari.

Kelima remaja ini segera berjalan mendekat ke tepian air terjun. Hanya Bain dan Esha yang mulai melangkahkan kakinya untuk turun menuju aliran air. Sisanya hanya berdiri di dekat tanaman bunga-bunga putih di sisi air terjun.

"Hati-hati, Xiela!" lagi-lagi Eizhar kembali meneriaki sahabatnya.

"Kau tidak perlu khawatir selama Xiela bersama Bain, Eizhar," ucap Elmaara sembari memainkan bunga putih yang ia petik sembarang. Sementara Bain dan Esha perlahan mulai melompati batu-batuan besar yang ada di dekat aliran air terjun itu. Hingga keduanya sampai di batu terbesar, tepat di hadapan air terjun. Tempat di mana penduduk Ventus melaksanakan ritualnya.

Esha lebih dulu berdiri menghadap air terjun, sedangkan Bain mengikuti di belakangnya. Bain mengangkat  tangan kirinya, bersamaan dengan itu Esha juga mengangkat tangan kanannya. Setelahnya muncul cahaya biru dari telapak tangan Bain dan Esha yang memancar ke atas.

Cahaya biru merambat ke atas seolah-olah menembus langit. Sang purnama yang seolah paham dengan kode yang disampaikan kepadanya, bulan pun memancarkan cahaya putihnya yang terang. Cahaya biru itu seperti terserap oleh cahaya putih hingga membuat warnanya menjadi biru terang. Hal itu sontak membuat Bain dan Esha memejamkan matanya. Keduanya kini sama-sama fokus dengan ritualnya.

Para penduduk Ventus percaya dengan kekuatan bulan purnama yang bisa menjauhkan mereka dari malapetaka. Itu sebabnya, mereka akan datang ke air terjun di kota Southeast sesuai hari lahirnya untuk mendapat siraman cahaya dari sang bulan. Mereka memilih tempat ini karena, kota Southeast sendiri memiliki dataran yang cukup tinggi sehingga membuat mereka lebih leluasa dan lebih mudah untuk mendapatkan cahaya sang bulan. Lokasi tertinggi di kota ini sudah pasti adalah air terjun tempat mereka sekarang berada.

Karena Bain dan Esha sama-sama memiliki nama Iovis—meskipun aslinya Bain memiliki nama Veneris—maka, Kamis malam ini mereka pergi ke air terjun Southeast untuk melakukan ritual rutinnya. Kebetulan, malam ini bertepatan dengan bulan purnama. Puncaknya ritualnya ketika cahaya biru sepenuhnya dipenuhi oleh cahaya putih sang rembulan.

Cahaya biru kini perlahan meredup. Bain masih terdiam di tempatnya, menatap Esha yang perlahan menundukkan kepalanya semakin dalam. Pemuda itu sama sekali tidak berniat melakukan apapun, Bain hanya memantau apa yang akan terjadi selanjutnya pada Esha.

Namun, Esha yang cukup lama tertunduk itu pun membuat Bain khawatir jika terjadi sesuatu pada gadis itu. Ia mencoba menepuk pundak kiri Esha. "Esha?" Esha tak menjawab. Gadis itu hanya menepis tangan Bain yang menyentuh pundaknya. Akan tetapi, detik berikutnya kepala Esha mulai terangkat.

"Esha, kau baik-baik saja?" tanya Bain yang belum menerima jawaban darinya.

Lagi-lagi bukan jawaban yang Bain dapatkan. Yang ada justru tatapan dengan sorot tajam yang Esha tujukan  pada Bain. Tercipta kerutan di kening Bain, ia bingung dengan perubahan sikap Esha yang begitu cepat ini. Perlahan tapi pasti, Esha melangkahkan kakinya maju.

"ESHA!" Tentu saja Bain terkejut hingga tak sempat melakukan menahan serangan mendadak dari Esha. Dalam sekejap, tubuh Bain terpelanting ke belakang hingga akhirnya pemuda itu tercebur ke sungai.

"BAIN!" Mereka yang menyaksikannya dari sisi air terjun pun sama terkejutnya atas apa yang baru saja menimpa Bain. Bukannya tak mau, hendak menolong pun rasanya mereka tak mampu jika itu sudah berurusan dengan Esha.

Beruntung aliran air sungai tidak terlalu dalam sehingga Bain tak kesulitan untuk kembali menegakkan tubuhnya. Sungguh, ini baru pertama kalinya Bain mendapat serangan mendadak dari Esha yang kekuatannya kuat bukan main. Beruntung ia terjatuh ke aliran air. Mungkin tulang belakangnya akan patah jika saja ia terhempas menabrak bebatuan besar di sekitar aliran sungainya.

"Kalau sampai ajal menjemputku di tempat ini, maafkan aku, Ayah." Bain sempat melirik ke tempat di mana ketiga sahabatnya menatap khawatir dengan keadaannya.



°•°•°

Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now