3. Dejavu

11 8 0
                                    

•°•°•


Keputusan Bain untuk tidak menemui Esha di hari Kamis nyatanya tetap ia abaikan. Seperti saat ini, Bain sedang bersama Esha di hutan selatan kota South. Tempat di mana petani Amen menanam pohon sebagian lahan di hutan ini.

Tentu saja tempat in menjadi surganya Esha. Di mana pohon apel menjulang tinggi dengan buahnya yang begitu lebat, membuat Esha betah untuk tinggal seharian di tempat ini. Lihat saja! Gadis itu bahkan masih setia duduk di salah satu ranting pohon apel yang buahnya cukup lebat.

"Hei, cepat turun! Mau sampai kapan kau memakan apel di sana? Turun, Esha!" teriak Bain sembari berkacak pinggang.

"Sebentar, Bain! Aku masih belum kenyang!" gadis itu meneriaki Bain kembali.

"Turun atau kupanggilkan Xeon untuk datang kemari?"

"Diam di sana atau kau akan kulempar ke sungai!" Esha turut mengancam.

Gadis itu kemudian turun beserta enam apel di pelukannya. "Sudah berapa apel yang kau makan, Sha?" tanya Bain seraya mengambil alih apel-apel itu.

"Aku tidak sempat menghitungnya, Bain! Kenapa kau sangat cerewet?!" Digigitnya apel terbesar oleh Esha usai menjawab pertanyaan Bain.

"Bain, ayo kita pergi ke atas, sebentar saja." Mendadak Esha menyatukan kedua telapak tangan di depan dadanya.

Bain menggeleng cepat. "Ini sudah hampir gelap, Sha! Bagaimana kalau nanti aku dihukum dan diberi petuah-petuah membosankan dari ayahmu itu?"

"Ayolah, Bain! Sebentar saja,"

Esha tetaplah Esha. Gadis itu tetap bersikukuh untuk naik ke lereng bukit. Bahkan is sudah berlari meninggalkan Bain sebelum pemuda itu mengiyakan ajakannya. "Dasar gadis nakal! Esha tunggu aku!"

Seperti tak memiliki rasa lelah, Esha terus berlari padahal jalur yang mereka lewati sudah pasti menanjak. Sedangkan Bain yang berlari di belakangnya seolah hendak pingsan.

"Woah!" Decak kagum keluar dari mulut Esha kala kedatangannya di lereng bukit itu disambut oleh pemandangan yang luar biasa. Matanya berbinar begitu Esha mendapati langit yang seolah-olah seperti lukisan dengan dominan warna jingga kemerahan. Sementara Bain tampak kelelahan sehingga ia memilih duduk di atas batang kayu yang tumbang dekat dengan posisi Esha berdiri, sekedar untuk meluruskan kakinya.

"Bain, apa kau bisa menyingkirkan burung-burung itu? Mereka mengganggu pemandanganku!" tanya gadis di hadapannya itu sembari menunjuk gerombolan burung yang berterbangan ke sana kemari.

Bain melebarkan matanya ketika mendengar penuturan gadis itu. Ia merasa seperti kejadian ini sudah pernah ia lalui, seperti dejavu. "Jangan konyol, Sha! Mereka juga berhak menikmati suasana langit sore ini!"

"Kalau begitu, baiklah! Akan kusingkirkan sendiri!"

"Hei! Apa yang hendak kau lakukan?!"

"Menyingkirkan para pengganggu!" Bain tak dapat mencegahnya. Cahaya biru yang muncul di tangan kanan Esha benar-benar membunuh segerombolan burung yang semula beterbangan bebas di angkasa, kini mereka berjatuhan tanpa nyawa.

"Esha?" Dagu Bain merosot. Pemuda ini jelas bingung dengan apa yang terjadi. Ia merasa seperti dalam mimpi. Namun, Bain sadar ia sedang tidak berada dalam alam bawah sadarnya..

Alis Esha terangkat sebelah. "Apa?"

"Kau membunuhnya?" Bain masih terheran-heran.

"Sudahlah, aku mau pulang!" Bain kembali merasakan ada sesuatu yang tidak wajar dari Esha. Apa yang sebenarnya terjadi pada Esha? Biasanya gadis berkulit kuning langsat itu tidak pernah bersikap seperti ini.

Bain memutuskan untuk membuntuti Esha hingga ke kediaman Xan Martis. Pemuda itu berjalan santai di belakang Esha yang berjalan cepat saat menuruni lereng bukit in. Rupanya Esha memilih pulang ke rumahnya dengan mengambil jalur belakang.

Kedua remaja itu harus melewati halaman belakang kediaman Xan Martis yang ditumbuhi sekitar dua puluh pohon apel. Gadis itu terus berjalan lurus tanpa menghiraukan apel-apel merah yang tampak menggantung di ranting terendah.

"Dari mana saja kalian?" Seorang pria berdiri tegak di depan pintu belakang. Pria itu tampak berwibawa meski hanya mengenakan setelan celana panjang serta kemeja biru dengan lengan tiga perempat. Sudah pasti itu adalah ayah Esha, Grysham Xan Martis.

"Kami dari kebun apel milik petani Amen di hutan selatan, Ayah." Bain yang menjawab dengan wajahnya yang sedikit menunduk.

Xanmenoleh pada putrinya yang menatap garang padanya. "Apa kau masih belum puas dengan apel-apel di halaman ini, Esha?"

"Sudahlah, Ayah! Aku ingin beristirahat. Aku akan pergi ke air terjun di kota Southeast bersama Bain nanti malam. Jadi, biarkan aku beristirahat setelah ini, Ayah." Setelah mengatakan hal itu, Esha melenggang masuk begitu saja melewati Xan yang masih berdiri di depan pintu.

Bain yang melihatnya pun sontak merasa tidak enak sekaligus khawatir. Ia takut jika sampai Xan akan memberikan hukuman pada Esha. "Maafkan kami, Ayah. Tapi, seperti janji Bain yang pernah Bain katakan pada Ayah, Bain akan selalu menjaga Esha semampu Bain,"

"Baiklah. Kumaafkan kalian dan aku memegang erat janjimu, Bain." Semudah itu Xan percaya dengan Bain. Enah apa yang membuat Xan begitu percaya pada Bain. Pasti Xan berpikiran bahwa pemuda seperti Bain ini mampu mempertanggungjawabkan ucapannya. Secara tidak langsung pula Bain diberikan sebuah tanggung jawab yang besar untuk menjaga putri Xan Martis.

Bain hanya mengangguk. Ia masih setia berdiri di hadapan Xan hanya untuk menunggu pertanyaan atau pepatah membosankan lainnya yang keluar dari mulut pria paruh baya itu.

"Esha bilang kau akan pergi ke air terjun di kota Southeast bersamanya?" Benar saja, Xan kembali membuka mulutnya untuk bertanya pada Bain.

"Iya, Ayah. Kami akan pergi ke sana nanti malam,"

"Hanya Esha dan kau?"

Bain menggeleng kuat. "Tidak! Kami akan pergi bersama Elmaara, Eithan dan saudara kembarnya."

"Baiklah, jaga Esha baik-baik. Kau tau pasti tau apa yang terjadi padanya ketika dia bertemu dengan purnama saat ritual nanti."  Xan menepuk pundak kanan Bain. "Kau tidak perlu kembali, kau bisa beristirahat di rumah samping."

Xan sudah lama mengenal Bain yang notabenenya adalah sahabat dekat putrinya, itu sebabnya Bain mendapatkan perlakuan baik darinya. Bain mengangguk sopan pada Xan. "Baik, Ayah. Terima kasih."










°•°•°




Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now