17. Kabar Duka

7 6 0
                                    

•°•°•



Tidak lebih dari sebulan, tapi rasanya begitu lama mereka tak bercanda atau sekedar bersenang-senang di kebun petani apel. Bain begitu rindu dengan tingkah Esha yang selalu memintanya untuk menemani ke mana pun ia pergi mencari apel-apel ternikmat di wilayah Ventus.

"Kau mau ikut denganku nanti?" tanya Bain setelah meletakkan sekeranjang apel merah di depan gubuk.

Esha menaikkan sebelah alisnya. "Ke mana?"

"Melihat senja di hutan selatan, kau ikut?"

"Aku sudah bosan," jawab Esha datar.

Aku tau kau berbohong, Esha, batin Bain setelah mendengar jawaban Esha. Tidak seperti biasanya, gadis itu selalu antusias jika diajak pergi melihat senja. Sakit hati? Tentu. Ini pertama kalinya Bain mendapat penolakan secara halus dari keturunan Iovis terakhir itu.

"Ya sudah kalau begitu, aku akan pergi sendiri setelah mengantarkanmu pulang nanti," balas Bain dengan nada seolah-olah ia merasa paling tersakiti.

Hal itu tentunya membuat Esha yang awalnya tak memperdulikan Bain pun mendongakkan kepalanya. "Aku harus pergi memanen apel di halaman belakang. Kau tahu sendiri, 'kan?"

Bain hanya mengangguk sebagai jawaban. Pemuda itu kembali merapihkan apel-apel di keranjang dan memindahkannya ke dalam gubuk. Kemudian, Bain keluar bergegas untuk mengambil keranjang apel lainnya yang masih belum dikumpulkan.

Hari ini petani Amen memang berencana untuk memanen sebagian apel merah di kebunnya. Itu karena harga penjualan apel merah di pasaran sedang melonjak. Peluang yang tidak boleh dilewatkan baginya untuk mendapatkan untung besar.

Beruntung Bain dan kawan-kawannya datang di waktu yang tepat. Sehingga pria tua itu tidak perlu repot-repot mencari mereka yang terkadang entah di mana keberadaannya. "Bain, kau istirahat saja, biar aku yang menyelesaikan sisanya."

Bain pun menoleh ke petani Amen. "Eh? Tidak apa-apa, Paman. Lagipula sudah lama aku tidak membantu Paman," ujar Bain beserta senyuman khasnya. Petani Amen terkekeh kecil. Sudah ia duga jawaban Bain pasti seperti itu.

Hari semakin terik. Panas matahari cukup membuat dahi mereka yang ada di kebun ini dibanjiri keringat. Esha bahkan memilih untuk duduk di sebelah petani Amen yang memegang kipas besar. Sementara Bain, Eithan, Eizhar, dan Elmaara kompak merebahkan diri di lantai gubuk.

"Panas sekali hari ini," cicit Elmaara.

"Jika saja aku memiliki kekuatan es, sudah pasti tempat ini kubekukan semuanya." Khayal Eizhar yang langsung ditepis dengan pukulan kecil di dahi oleh kakaknya.

Di saat lima remaja sekaligus seorang pria tua itu sedang mengistirahatkan tubuhnya, suara ketukan dari arah pintu kebun terdengar cukup brutal. "Siapa di luar?" teriak petani Amen.

"Biar aku yang membukanya." Dengan senang hati Elmaara mengajukan bantuan.

Atensi mereka pun teralihkan sejenak. Menunggu Elmaara yang membukakan pintu, sembari menunggu siapakah sosok di baliknya.

"Esha!" teriak Elmaara tiba-tiba.

Bain panik. Tidak! Semuanya panik. Apa yang terjadi sampai Elmaara berteriak seperti itu?

Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now