16. Kembali ke Kebun Apel

9 6 0
                                    

•°•°•

Air terjun Southeast menjadi tujuan Bain selanjutnya. Sembari membopong tubuh Shao yang sudah tak bernyawa, Bain sama sekali tidak memancarkan aura kesedihan dalam dirinya. Tatapannya yang datar turut menghias wajah tampannya.

"Maafkan aku, Ayah. Takdir rupanya memihak padaku sebagai penjemput ajalmu. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya," ucap Bain setelah membuang ayahnya ke aliran sungai Southeast.

Sungguh nahas nasib Shao. Seorang ayah yang mati terbunuh oleh putranya sendiri. Tewas di tangan putranya dengan perantara pedang buatannya sendiri juga. Bain tidak ingin sampai ada seseorang yang memergoki perbuatannya. "Aku harus kembali ke rumah secepatnya."

Bain kembali menggunakan teleportasi-nya untuk kembali ke kediaman Shao. Ia harus sampai di rumah sebelum orang lain mencurigainya, walaupun Bain mampu membuat kepala yang mencurigainya itu hingga terpisah dengan tubuhnya dalam sekali tebasan.

Teleportasi Bain membuat pemuda itu tak perlu lagi mengeluarkan banyak tenaganya untuk berjalan jauh dari tempat ke tempat. Sensasi yang baru kini Bain rasakan, di mana ia bisa menghilang kapan saja dan di mana saja.

Ketika Bain kembali ke bilik kamarnya, terdengar seseorang yang memanggilnya dari luar. "Kau di mana, Bain!"

Segera kakinya melangkah untuk mencari siapa yang memanggilnya. Tangan kekarnya perlahan menyibak tirai yang masih menutupi jendelanya ruangan terdepan. Tampak di sana Elmaara bersama Eithan. Pemuda ini lantas merubah ekspresinya dan membuatnya seolah-olah ia baru saja bangun dari tidurnya.

"Dari mana saja kau, Bain? Terhitung setengah jam aku menunggumu di sini,"

Bain mengucek netranya menghayati peran. "Maafkan aku, El. Sepulang menemani ayahku, aku langsung tertidur tadi."

Elmaara hanya menggeleng heran. "Kau tak ingin bertemu Xiela? Keadaannya mulai membaik sejak tadi. Kalau kau masih sibuk, kami akan pergi lebih dulu dan kau bisa menemuinya besok,"

"Aku ikut. Urusanku dengah ayahku sudah selesai. Sekarang di mana Esha?"

"Di kebun apel paman Amen bersama Eizhar, aku dan Eithan sudah berniat hendak menyusulnya ke sana setelah memberi kabar perihal keadaan Xiela padamu."

"Baiklah kalau begitu, tunggu sebentar. Aku akan berpamitan pada ayahku di belakang," ucapan Bain dipercaya oleh kawan-kawannya begitu saja, tanpa ada yang curiga.

Gadis berambut biru itu pun menganggukkan kepalanya tanda ia mengiyakan ucapan Bain. Meskipun pada akhirnya ia dan Eithan harus kembali mengulur waktunya untuk menunggu Bain.

Bain yang berpura-pura masuk ke dalam rumah itu pun hanya berdiri di balik pintu sembari menatap lurus ke depan. Ia tampak sedang berpikir  saat in. Entah apa yang dipikirkan hingga Bain memutuskan untuk mengambil langkah ke dapur.

"Aku akan mati jika perutku tak diisi." Bain meraih ubi bakar yang ada di meja dapur tanpa memikirkan Eithan dan Elmaara yang menunggunya di luar sana.

"Sepanjang apa rumahmu sampai kau tak kunjung kembali, Bain?! Cepat keluar atau kau kami tinggal!"

Benar saja. Elmaara memang begitu peduli dengan waktunya. Pemilik nama Dies Lunae itu sudah pasti tak ingin membuang waktunya lebih lama hanya untuk berurusan dengan Bain.

"Tunggu sebentar, aku segera kembali!" teriak Bain yang berusaha sebisa mungkin agar suaranya tak terdengar seperti sedang memakan sesuatu.

Setelah menyelesaikan urusan perutnya, Bain kemudian berlari untuk melanjutkan sandiwaranya. Padahal, Bain sangat benci untuk berlarian seperti ini. "Ayo, kita berangkat sekarang!"

"Andai aku bisa berbagi kekuatan teleportasi-ku, sudah pasti aku tak akan membuang waktuku hanya untuk berdiri seperti seorang prajurit yang menjaga kediaman seorang pemuda yang sedang tertidur," sindir Eithan malas.

"Setidaknya saat ini kau tahu bagaimana rasanya menunggu para sahabatnya yang gemar datang terlambat!" jawab Bain sembari menampar lengan Bain cukup kuat.

"Sudahlah! Jangan banyak bicara, ayo, Eithan! Cepat!"

Asap putih mengepul di teras kediaman Shao. Bersamaan dengan itu, tiga remaja yang tadinya masih sibuk beradu mulut di teras itu pun menghilang tampa jejak. Eithan membawa dua sahabatnya untuk sampai di dalam gubuk di kebun apel petani Amen.

"Paman Amen, di mana Esha?" tanya Bain begitu melihat keberadaan petani Amen yang kebetulan sedang berdiri di depan pintu gubuk.

"Di sana." Petani Amen menunjuk keberadaan Esha dan Eizhar menggunakan dagunya. Sedangkan kedua tangannya sibuk memegang cangkir yang diduga berisi teh beraroma apel khas buatannya sendiri.

"Terima kasih, Paman!" teriak Bain yang langsung berlari menuju tempat yang ditunjukkan petani Amen.

"Esha!"

Sang pemilik nana yang terpanggil itu pun langsung menolehkan kepalanya, kemudian gadis itu tersenyum halus pada Bain. "Kau merindukanku?"

Pertanyaan yang terlontar dari mulut Esha membuat jantung Bain berdetak tak karuan. Rasa ingin memiliki gadis bersurai panjang itu semakin meningkat. "Tidak," bohongnya.

"Ish!" jawaban Bain tidak sesuai dengan harapan Esha. Gadis itu bahkan tak segan-segan untuk melempar apel hijau yang cukup besar ke arah Bain. Sedangkan yang dilempari itu dengan sigap menangkap apelnya.

"Apel ini biasanya akan kau cari saat kau sudah muak dengan apel-apel merah itu, Esha."

"Saat apel-apel di pekarangan belakang rumahmu itu sangat banyak, kenapa kau masih menginginkan apel di sini, Xiela? Bukankah rasanya sama saja?" tanya Eizhar yang sedari tadi diam.

"Kau tidak akan tahu sebelum kau mencobanya sendiri, Ar."

"Tentu saja karena aku bukan pecinta apel sepertimu," jawab Eizhar lagi. "Itu sebabnya aku menanyakan hal itu padamu,"

Esha memutar bola matanya malas. Tangan kanannya tergerak mengambil apel yang tergeletak begitu saja di keranjang yang ada di sebelah Eizhar. Sedangkan Bain hanya memperhatikan gerak-gerik gadis di hadapannya.

"Xiela! Kemarilah!" teriak Elmaara dari kejauhan beserta tangannya yang ia lambaikan.

Hal itu membuat atensi mereka teralihkan pada Elmaara. Hingga akhirnya Bain, Eizhar,  dan Esha mengangguk kemudian mengacungkan jempolnya di udara, lalu mengambil langkah bersamaan.

"Ada apa?" tanya Esha setelah sampai di gubuk.

"Ini, minumlah. Kata Paman Amen sudah menyiapkannya sejak tadi, tapi kalian begitu serius. Jadi, Paman Amen membiarkan kalian berbincang sejenak meskipun ternyata lama," jelas Elmaara sembari membagikan gelas-gelas kecil berisikan teh aroma apel yang hangatnya sudah pas untuk langsung diteguk.

"Aku tidak ingin mengganggu waktu kalian, jadi aku menyimpan tehnya lebih dulu. Silahkan diminun, Anak-anakku semua,"

"Terima kasih, Paman," jawab kelimanya bersamaan yang membuat petani Amen kembali tersenyum.

"Lama tak jumpa, kau baik-baik saja, Nona Iovis?"

Pertanyaan petani Amen membuat gadis itu sedikit terkejut. Dapat Bain lihat bagaimana Esha yang begitu cepat memyembunyikan rasa terkejutnya itu. Bahkan tidak ada yang menyadarinya kecuali Bain.

"Aku baik-baik saja, Paman. Hanya saja perutku sedang tidal baik-baik saja. Sepertinya cacing dalam perutku meminta lebih banyak asupan apel, Paman."

Petani Amen justru terkekeh lucu. "Ambil sesuka dan semampumu, Xiela. Aku tidak akan melarangmu,"

"Manusia yang pantas mendapat sayap seperti malaikat itu Paman Amen, Tuhan! Lihat, kan? Dia begitu baik padaku!"

°•°•°

Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now