7. Latihan Berpedang

12 9 0
                                    

•°•°•


Bukan hanya sekedar ingin menjenguk Esha, Bain juga berniat hendak mengajaknya dan para sahabatnya untuk berlatih berpedang pagi ini. Akan tetapi, kenyataannya tidak sesuai dengan ekspektasinya. Bain tak bisa berbuat apa-apa kala Esha meninggalkannya.

"Ada baiknya kita menunggu paman Amen, Si Kembar juga pasti akan datang bersamanya." Lamunan Bain seketika buyar mendengar ucapan Elmaara.

"Baiklah. Ayo bangun, El!" Mendadak Bain menarik lengan Elmaara, mengajaknya pergi membantu Esha memetik apel. "Cepat, El!"

"Kenapa kau hanya bersikap lembut kepada Xiela? Aku juga perempuan kalau kau lupa, Bain!" sewot Elmaara. Pemuda itu hanya mendengus. Tapi, ucapan Elmaara juga tidak sepenuhnya salah. Bain memang bersikap lembut hanya pada satu perempuan yaitu Esha. Itu karena keduanya memang sudah dekat. Jadi, mungkin itulah yang menjadi alasannya. Bodoh! Tentu saja karena aku mencintai Esha! sinis Bain membatin.

Keduanya segera bergegas membantu Esha memetik apel sekaligus meringankan beban petani Amen. Bain sempat menengok ke kanan kiri guna mencari keberadaan Esha yang kini tak nampak batang hidungnya. Ingat! Kebun ini cukup luas hingga sulit menemukan keberadaannya begitu saja.

°°°

Tak terasa matahari semakin terik, terasa panas kala sinarnya menyentuh kulit. Mereka berhasil mengumpulkan sepuluh keranjang besar apel yang sudah tertata rapi di depan gubuk petani Amen. Nampak Elmaara duduk di bangku panjang bersama Si Kembar. Sementara Esha menjadikan punggung Bain sebagai sandarannya sembari memeluk keranjang kecil berisikan apel-apel merah.

Mereka sudah tak heran dengan tingkah Esha yang begitu kegandrungan dengan apel. Melihat Esha yang mengunyah apel tanpa napsu itu membuat petani Amen terkekeh pelan. "Bain, apa yang akan kau pelajari hari ini?"

Si pemilik nama tentunya menoleh. "Berpedang. Kukira ilmu itu penting untuk dikuasai, Paman."

"Kau sudah berlatih?" tanyanya lagi.

"Tentu saja sudah. Tujuh tahun yang lalu aku sudah mulai berlatih berpedang bersama ayahku. Tapi, bukan berarti aku sudah menguasai semuanya, aku juga masih perlu belajar lebih banyak lagi mengenai teknik berpedang yang baik," jawab Bain yang mencoba untuk tidak tinggi hati atas kemampuannya.

Petani Amen hanya manggut-manggut paham. "Baguslah, aku akan melihat sejauh mana kemampuan berpedangmu nanti. Dan, aku akan ikut kalian berlatih."

"Latihan berpedang? Itu artinya kita harus mempunyai pedang, sedangkan aku tidak memilikinya, atau kau sudah menyiapkan pedang untuk kami semua, Bain?" tanya Eizhar yang sedari tadi hanya menyimak.

"Tak usah banyak bicara, Eizhar. Kau hanya perlu belajar saja nanti. Aku sudah menyiapkan pedang untuk kalian semua."

Setelah mengatakan hal itu, Bain segera bangun untuk membantu petani Amen memindahkan keranjang berisi apel ke dalam gubuk lebih dulu. Biasanya petani Amen akan memasarkan apel-apel ini besok pagi atau ia akan menitipkannya kepada pedagang lain. Lagipula, sepertinya akhir-akhir ini petani Amen sedikit sibuk, entah apa saja yang ia kerjakan hingga rasanya, orang itu bisa dijumpai di mana saja.

"Ayo bangun! Bain sudah hampir selesai, saatnya kita berlatih," ajak Eithan kala melihat Bain yang hampir selesai memindahkan apel-apel itu. Ya. Mereka hanya melihat sahabatnya bersusah-susah tanpa ada niat membantunya.

Mereka bergegas ke belakang kebun apel. Di sana terdapat lokasi yang cukup luas. Tanah yang hanya ditumbuhi rumput kecil itu cocok dijadikan tempat para remaja ini melatih kekuatannya.

Petani Amen tersenyum melihat pedang yang Bain bagikan pada sahabatnya. "Ayahmu yang membuatkannya, Bain?"

Pertanyaan petani Amen sukses membuat Bain tersenyum lebar dan menjawabnya dengan anggukan cepat. "Aku juga membantunya."

"Kenapa permata di pedangmu sudah berwarna? Kau curang, Bain!" kesal Eizhar yang iri melihat permata di pedang Bain yang tampak lebih berkilauan. Pasalnya, permata pada pedang Bain berwarna biru, sedangkan milik mereka masih sama yaitu bening tak berwarna.

"Kemarilah jika kalian ingin permata di pedang itu berwarna seperti milik Bain!" titah petani Amen.

Bain hanya menatap sahabatnya yang mulai mengikuti arahan petani Amen untuk mengubah warna permata pada pedang mereka.

"Tutup mata kalian, tarik napas dalam-dalam, lalu tahan sejenak! Fokuskan pikiran kalian untuk memindahkan sedikit kekuatan kalian ke pedang masing-masing!"

Perlahan muncul cahaya dengan warna yang berbeda di antara keempat remaja itu. Esha dengan warna biru yang muncul dari telapak tangan kanannya. Di sekitar tubuh Elmaara muncul cahaya kuning sebab gadis ini lahir di hari Senin, sehingga ia memiliki nama Elmaara Dies Lunae. Begitu juga dengan Si Kembar yang berdiri bersebelahan, diantara mereka berdiri muncul cahaya putih sebab terdapat kata Saturni dalam nama keduanya. "Salurkan kekuatan kalian ke pedang masing-masing!"

Perlahan-lahan cahaya itu merambat ke permata di pedang keempat remaja itu. Cukup mudah untuk mengajarkan sesuatu pada mereka, karena mereka cepat menangkap arahan dan melakukannya dengan baik. Benar saja, sepersekian detik setelah cahaya yang tadinya muncul sudah berpindah ke permata yang ada di gagang pedang.

"Sekarang, bukalah mata kalian!" perintah petani Amen.

"Woah!" reaksi keempatnya sama, mereka takjub. Selain permata yang ada di gagang pedang menjadi berwarna, mata pedangnya juga terlihat lebih bersinar.

"Sekarang giliranmu, Bain," ucap petani Amen. Ia menyingkir ke belakang, dan kini Bain melangkah maju untuk berbagi beberapa teknik berpedang yang selama ini sudah ia pelajari bersama ayahnya.

°°°

Bain rasa, tiga jam untuk berlatih berpedang itu cukup. Kini, mereka telah kembali ke gubuk di kebun apel untuk beristirahat di sana. Tapi, tidak dengan Esha. Gadis itu memilih duduk di atas ranting pohon apel, kembali mengisi perutnya dengan beberapa buah apel hijau yang cukup besar.

Pintu masuk kebun apel dibiarkan terbuka sedikit. Petani Amen pergi ke luar saat Xiela dan kawan-kawannya selesai berlatih. 'Kalian istirahat saja dulu, aku akan segera kembali.' Begitu pesan petani Amen sebelum pergi meninggalkan kebun apel.

Bain berdiri setelah merasa cukup beristirahat. Ia segera menghampiri Esha. Di tangan kirinya menggenggam erat pisau kecil dengan ukiran kepala naga di ujung gagang pisau itu. "Esha, turunlah! Ada yang hendak kusampaikan padamu,"

Esha menunduk demi melihat Bain yang berdiri di bawah pohon tempatnya duduk. "Ada apa?"

"Turunlah, Esha!"

Esha merotasi bola matanya malas. Gadis itu melompat turun, masih dengan tangan kanannya menggenggam satu apel yang belum habis dimakan. "Nah, sudah, sekarang apa?"

"Habiskan dulu apelmu itu," salah satu kegemaran Bain adalah membuat Esha murung yang membuatnya terlihat menggemaskan di mata Bain.

Dengan sedikit terpaksa Esha menghabiskan apel yang tersisa separuh itu dengan cepat. Kemudian, ia menatap Bain dengan tatapan yang masih menunggu perintah apa lagi yang keluar dari mulut Bain.

"Ini, simpanlah! Suatu saat kau pasti akan membutuhkannya. Ayahku yang membuatnya, dan itu khusus dibuatkan untukmu, Esha." Bain menyodorkan pisau kecil yang tadi ia genggam untuk Esha.

Dahi Esha berkerut. Tangannya terangkat menerima pemberian Bain. Dibukanya pisau itu dari wadahnya. Esha sedikit terkejut kala mendapati ukiran namanya di salah satu sisi mata pisau kecil itu. "Terima kasih. Tolong sampaikan pada ayahmu, bahwa aku akan berusaha menjaga pemberiannya, Bain."

Bain tersenyum simpul. "Tentu, akan kusampaikan nanti." Kemudian, Esha segera menyimpan dengan menghilangkannya setelah muncul asap biru yang mengepul di tangan kanannya.





°•°•°

Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang