10. Alasan Bain

9 8 0
                                    

•°•°•




Rupanya para rombongan berkuda itu tersulut emosinya ketika ditantang oleh Bain dan kawan-kawannya. Sehingga, pertarungan pun terjadi antara tiga remaja melawan rombongan berkuda. Sementara itu, Xeline hanya berdiri memantau di belakangnya. Orang-orang itu pun terpaksa turun untuk menghadapi serangan Bain, Eithan, dan Elmaara.

"Kalian tidak akan bisa. Jika kalian ingin menemui Xiela, ayo cepat! Lawan kami terlebih dahulu!" seru Elmaara setelah berhasil merobohkan tiga orang dari rombongan itu. "Seperti ini saja kalian sudah lemah, bagaimana nanti jika kalian menghadapi Xiela?"

"Kami tidak ingin meladeni anak kecil dengan serius. Bocah-bocah ingusan seperti kalian pantasnya bermain di luar sana, bukan mencampuri urusan orang tua!"

"Kami memang anak kecil, dan inilah mainan kami!" teriak Bain yang sudah jengah lalu, ia mengeluarkan cahaya biru di tangannya. "Mulut kalian terlalu berisik. Jadi, diamlah sebelum kujahit mulut kalian!"

Rombongan berkuda yang kurang lebih terdapat sepuluh orang itu terlempar begitu saja akibat ulah Bain. Kuda-kuda mereka pun turut berlari tunggang langgang keluar dari halaman belakang.

"Jika saja hati nuraniku sudah tidak berfungsi, sudah pasti kalian pulang tinggal nama. Tapi, kurasa belum puas jika kalian tidak benar-benar mati di tanganku," ledek Bain dengan senyuman jahilnya. Pemuda ini begitu gemas saat melihat lawannya ketakutan seperti itu.

"Tunggu sebentar, Bain! Mereka bahkan belum mencoba ini!" sanggah Elmaara sembari menunjukkan bola bercahaya kuning di telapak tangannya.

Bola itu tampak seperti bola cahaya biasa. Akan tetapi, setelah terlepas dari telapak tangan Elmaara, bola itu kemudian memecah tepat di atas para rombongan berkuda yang masih tergeletak di ambang pintu masuk halaman belakang. Cahaya kuning itu menyebar, menciptakan sebuah lapisan transparan yang mengelilingi orang rombongan itu.

"Bukankah orang dewasa tidak takut dengan permainan anak-anak?" sindir Elmaara. Kemudian, Elmaara menggenggam tangan kirinya. Bersamaan dengan itu, orang-orang dari rombongan berkuda mendadak dikejutkan oleh aliran listrik yang menyengatnya. Sedangkan Elmaara tersenyum licik melihatnya.

"Sampai jumpa lagi, Paman-Paman!" Terakhir, Eithan melemparkan bola bercahaya putih miliknya. Itu membuat para rombongan berkuda seketika lenyap begitu saja berkat kekuatan teleportasinya. Setelah rombongan berkuda itu pergi, ketiganya lantas menoleh pada Xeline yang kini sudah duduk di pendopo halaman belakang. Mereka segera menghampiri Xeline untuk memastikan apakah wanita itu baik-baik saja atau tidak.

Melihat kondisi tubuhnya yang baik tanpa kekurangan suatu apapun, mereka yakin bahwa Xeline tidak apa-apa. "Terima kasih banyak," ucap Xeline seraya tersenyum tulus pada ketiga remaja itu.

"Alangkah baiknya untuk beberapa hari yang akan datang, jangan sesekali keluar jika tidak ada kepentingan yang mendesak, Ibu. Kemungkinan orang-orang itu pasti akan kembali dengan jumlah yang lebih banyak dan biarkan kami yang akan mengurus mereka," kata Bain.

"Entah apa tujuan mereka terus mengincar Xiela," ungkap Xeline. "Kurasa aku sudah menyampaikan keputusanku kepada Arthen waktu itu. Tidak mungkin dia yang menyuruh orang-orang itu untuk datang kemari."

Sedangkan kau tak tahu seberapa tinggi posisi putrimu, Ibu. Mendapatkan takdir seperti itu membuat putrimu selain disanjung dan dihormati juga akan  menjadi incaran orang-orang yang tak berakal, batin Bain menatap Xeline prihatin.

"Sudahlah, Ibu. Biar kami saja nanti yang mencari tahu apa maksud mereka menginginkan Xiela," ucap Elmaara mencoba menenangkan Xeline.

°°°



Tibalah hari dimana ritual itu akan dilakukan. Esha  masih belum juga tersadar dari pingsannya. Orang-orang rombongan berkuda itu juga sudah tidak datang kembali ke kediaman Xan Martis setelah mereka mendapatkan perlawanan dari Bain, Eithan, dan Elmaara.

Hari ini adalah hari Kamis. Dan nanti malam, Xeline akan segera melakukan ritualnya untuk mentransfer separuh kekuatannya kepada Esha. Semuanya sudah dipersiapkan sedemikian rupa. Sebenarnya, untuk mentransfer kekuatannya itu tidak terlalu rumit. Hanya saja, Xeline tidak ingin terjadi apa-apa dengan putrinya.

Seperti biasa, Bain masih setia menunggu Esha di ruangannya. Elmaara, Eithan, dan Eizhar juga ikut menemaninya. Mereka sudah meminta izin kepada orang tua masing-masing bahwa mereka akan menginap di kediaman Xan Martis malam ini.

Bain tertunduk di samping ranjang tempat Esha berbaring tanpa kesadarannya. Pemuda ini kembali mencari alasan yang tepat untuk berbohong pada Xeline, dan orang-orang terdekatnya nanti. Pasalnya, jika Bain ikut dalam ritual itu, ia takut akan terjadi sesuatu pada Esha.

Sang Surya perlahan menyingsing ke barat, tanda hari mulai petang. Xan masih sibuk mengurus kebun tehnya. Berbeda dengan Xeline yang terus menunggu waktu ritualnya tiba dengan perasaan yang berdebar-debar. Sepasang suami istri ini seolah-olah tidak saling mengenal setelah Esha tertimpa musibah ini.

Xan masih tidak peduli dengan keadaan keluarganya. Bahkan pria ini sama sekali tidak melongok keadaan putrinya barang sejenak. Xan terus menerus disibukkan oleh kegiatannya di kebun teh. Padahal, orang-orang yang membantu panen teh di kebunnya sudah cukup banyak. Atau, bisa saja Xan memang sengaja menghindari untuk berurusan dengan Xeline maupun Esha.

Malam telah tiba, sebentar lagi Xeline akan segera berangkat ke kota Southeast. Kini mereka sedang menunggu kedatangan Eiden dan juga petani Amen.

"Maafkan aku, Ibu. Aku tidak bisa menemani Esha dalam ritual malam ini, aku harus pergi sebelum malam terlalu larut," pamit Bain pada Xeline

Xeline mengangguk paham. "Tidak apa-apa, Bain. Pergilah dengan hati-hati, kau cukup mendoakan agar ritual malam ini berjalan lancar dan tidak terjadi sesuatu pada Xiela,"

"Tentu. Aku pamit, Ibu. Aku akan kembali besok pagi." Dengan berat hati, Bain melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan ini. Begitu berat meninggalkan Esha sendirian di sana.

Tiga remaja yang ditugaskan menjaga Esha itu hanya menatap punggung Bain yang mulai lenyap ditelan gelapnya malam. Kini mereka berada di pendopo halaman belakang. Mereka hanya perlu menunggu petani Amen dan Eiden yang belum kunjung datang sembari menikmati semilir angin yang berhembus pelan.

"Kumohon bantu Esha, Ya Tuhan. Apa pun itu rencana-Mu, semoga Esha dalam perlindungan-Mu, Esha kau pasti kuat!" gumam Bain di sela jalannya yang tak tentu arah.



°•°•°




Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now