18. Arthen dan Chrazyan

8 6 0
                                    

•°•°•

Pertarungan tak terelakkan lagi. Dikeroyok rombongan berkuda yang jumlahnya lebih dari dua puluh orang tak membuat Bain ketakutan. Justru ia semakin merasa tertantang.

"Omongan kalian sama sekali tak mencerminkan kalau kalian adalah pria yang dipanggil orang dewasa," ledek Bain di sela pertarungan melawan rombongan itu.

"Bocah sombong! Masih kecil saja sombongnya sudah selangit, bagaimana nanti kalau kau sudah tua, Bocah?" jawab salah satu dari anggota rombongan itu.

"Simpan dulu kata-katamu, Orang Tua," sindir Bain yang mengikuti gaya bicara sang pemimpin rombongan berkuda ini.

Di otak Bain terus mengingat-ingat siapa nama orang itu. Ia pernah melihatnya tapi namanya begitu sulit untuk diingat. Yang pasti, pria itu masih ada hubungan darah dengan Xeline.

Jika dilihat-lihat, wajah-wajah rombongan berkuda itu tak asing bagi Bain. Beberapa dari mereka terlihat seperti sepuluh orang yang datang menyerbu kediaman Xan Martis pada malam sebelum Xeline melakukan ritualnya.

Ya! Bain tak salah lagi, ia mampu mengingat salah satu dari sepuluh orang itu memiliki jenggot yang cukup panjang dengan wajahnya yang tampak garang. Saat ini orang itu sedang berhadapan dengan Bain.

"Apa kabar, Paman Jenggot?" tanya Bain meledek pria tua itu. Setelahnya ia kembali mengayunkan pedangnya. Menyerang brutal pada siapa pun yang menghampirinya. Seolah mereka itu datang menjemput ajalnya dengan berurusan dengan Bain.

"Tentu aku kembali dengan diriku yang lebih kuat!" sombong orang itu.

"Oh iya? Mari kita lihat, Paman." Bain semakin mempercepat gerakannya. Membuat pria berjenggot itu kewalahan dan terus mengambil langkah mundur.

"Sayang sekali, Paman, pedangku lebih unggul darimu," senyum miring Bain tercipta kala pria berjenggot itu berhasil ia taklukkan.

Kini tersisa lima orang dan juga Si Pemimpin rombongan berkuda yang sedari tadi hanya diam menatap gerak-gerik Bain melawan pasukannya. Tangannya terlihat mengepal kala melihat pasukannya dihabisi oleh Bain. Hal itu membuat Bain senyum Bain semakin mengembang. Membuat wajah tampannya itu terlihat menyeramkan.

"Kemarilah, Paman. Kau tidak takut dengan anak kecil, 'kan?"

Orang itu mendengus napas kesal, kemudian melirik ke kanan kirinya di mana sisa pasukannya yang berdiri dengan nyali yang sudah menciut. "Aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja, Bocah Kecil!" teriaknya sembari maju menyerang Bain.

"Tidak, Paman! Selesaikan dulu sisa-sisanya." Entah sejak kapan pedang di tangannya berubah menjadi lima belati kecil yang siap ia lemparkan.

Tanpa aba-aba, lima belati di tangan Bain sukses terlempar dan kini bersarang di jantung lima orang sisa rombongan itu yang tak sempat menghindar. Terlihat Sang Pemimpin mendesis marah. Urat-urat di tangannya bahkan tampak mengeras.

"Terima kasih untuk umpanmu hari ini, Paman. Lain kali, siapkan rombongan yang lebih banyak, ya? Sampai jumpa!" Bain melambaikan tangannya bersama dengan dirinya yang menghilang ditelan asap biru kehitaman.

Bain terpaksa harus menggunakan teleportasi-nya. Ia tak mau mengulur waktunya lebih lama hanya untuk melawan pria tua itu. Bain harus segera menemui Esha di kediaman Xan Martis, ia harus sampai di sana sekarang juga.

Bain kembali muncul di antara orang-orang yang mulai memenuhi pekarangan belakang. Bain memilih untuk menampakkan dirinya di luar tembok yang mengelilingi bangunan besar milik Xan Martis agar tidak ada orang dalam yang melihatnya menggunakan kemampuan rahasianya.

Ditengoknya ke kanan dan ke kiri. Setelah memastikan kondisi aman dan tak ada satupun orang yang menyadari kehadirannya, Bain segera menyelinap ke dalam rombongan orang-orang yang berdatangan ke kediaman Xan Martis. "Kumohon, cepatlah!"

Begitu banyak orang hingga membuat Bain ingin melempar mereka semua agar ia bisa berlari untuk segera menemui Esha. Pikirannya benar-benar hanya tertuju pada Esha.

Rupanya, peti mati Xeline diletakkan di pendopo.halaman depan. Warga Ventus akan melakukan tradisi di mana setiap ada orang yang meninggal, sebelum dimakamkan, sang jenazah akan disucikan terlebih dahulu di air terjun Southeast.

Langkah kaki Bain terhenti kala mendapati seorang pemuda yang tidak pernah ia jumpai, sedang berdiri di samping Esha. Dari kejauhan sudah tampak rambut pemuda itu berwarna perak dengan tinggi yang sepertinya tak jauh berbeda dengan tinggi Bain.

Bain mencoba menjernihkan pikirannya. Barangkali itu adalah saudara Esha yang ia tidak pernah melihatnya. Bain memberanikan diri untuk mendekat ke arah Esha. Di mana di samping pemuda yang belum Bain ketahui siapa itu, berdiri Elmaara dan Si Kembar di sampingnya.

Ketika jarak Bain dengan Esha tersisa tiga tombak, pemuda berambut perak itu menoleh ke belakang seolah lebih dulu mengetahui kedatangan Bain. Tak peduli dengan hal itu, Bain tetap memantapkan kakinya untuk tetap melangkah. "Esha,"

Panggilan dari Bain justru mendapat jawaban yang tidak Bain inginkan. Esha sama sekali tak menoleh, gadis itu sepertinya sengaja menulikan pendengarannya.

"Esha, aku turut berduka atas meninggalnya ibu Xeline," ucap Bain lagi.

Kini Esha menolehkan kepalanya ke arah Bain tanpa mengalihkan pandangannya dari peti Xeline yang ada di hadapannya. "Pergi dari sini jika kau tak ingin bernasib sama seperti ibuku,"

Sebentar! Apa maksudnya? Gadis itu bahkan dengan gamblang mengucapkannya di hadapan Bain tanpa beban sedikitpun. Setelahnya disusul oleh pemuda berambut perak yang menatap tajam ke arahnya.

"Tidak, Esha. Aku tidak akan pergi sebelum ibu Xeline dimakamkan," tegas Bain.

"Pergilah sekarang juga, Putra Shao." Pemuda itu bahkan ikut mengusir Bain.

"Siapa kau beraninya menyuruhku?"

"Masa depan Xiela Iovis Ebshaara."

Bain tertawa sumbar. Tak memperdulikan pandangan orang-orang yang sedang berduka di kediaman Xan Martis. Tentunya Bain mendapatkan tatapan tak bersahabat dari mereka. "Jangan berharap terlalu tinggi, Rambut Perak."

"Jangan banyak bicara, Bain. Tinggalkan tempat ini sekarang juga, sebelum aku benar-benar menghabisimu." Bain yakin, perubahan Esha yang sekarang ini pasti berkaitan dengan ketentuan atau ada hubungannya dengan Si Rambut Perak itu.

"Lebih baik kau mundur, Bain. Atau kau akan habis di tangan Chrazyan," ucap Elmaara yang rupanya, gadis berambut biru gelap itu juga memihak pada Si Rambut Perak.

Bain mendengus pelan. "Tidak, aku tidak akan pergi. Apa pun itu aku tidak peduli, aku akan tetap di sini."

"HEI, BOCAH SOMBONG! SERAHKAN GADIS PEMBAWA PETAKA ITU!" teriak seorang pria dari kejauhan yang membuat situasi di halaman kediaman Xan Martis mendadak gaduh.

Pemuda yang dipanggil itu pun hanya merotasikan bola matanya malas. Orang itu benar-benar menyusahkannya. "Kau benar-benar keras kepala, Pria Tua. Maafkan aku."

Pedang milik Bain terlempar begitu saja. Kecepatan pedangnya bahkan tak memberikan celah bagi sang lawan untuk menghindarinya. Pedang menancap tepat di dada pria tua itu, diikuti oleh jeritan histeris mereka yang melihatnya.

"Paman Arthen! Bain, kau?" Jerit Elmaara tak kalah histeris. Rupanya pria tua sekaligus pemimpin rombongan berkuda itu adalah Arthen. Kakak mendiang Xeline.

Bain melirik ke arah Elmaara, kemudian lensanya bergulir menangkap ekspresi Esha yang menampakkan bahwa dirinya tak mempermasalahkan apa yang baru saja Bain lakukan. Ada apa sebenarnya dengan Esha?






°•°•°

Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang