15. Kau yakin?

9 6 0
                                    

•°•°•

Sebelum kesadaran Bain hilang, pemuda ini bolak-balik memaki dalam hatinya atas perlakuan Xeon padanya.

'Maafkan aku, Bain. Terpaksa aku harus mengotori tanganku untuk menyentuh wajah sok sucimu itu.' Itulah kata-kata yang terlontar dari mulut Xeon yang Bain dengar sebelum kesadarannya hilang setelah mendapat sebuah pukulan keras di rahangnya.

Kini, Bain kembali mencoba untuk mengumpulkan kesadarannya. Rahang kanannya yang tampak tegas itu kini terasa ngilu. "Sialan! Berani-beraninya bajingan itu menyentuh wajahku!"

"Beruntung pemuda itu mau mengantarkanmu pulang. Bagaimana kalau kau dibawa pergi dan diasingkan di sebuah tempat di masa depan?"

Bain menoleh ke sumber suara. Ia paham betul siapa yang baru saja membicarakannya. Ditatapnya pria yang umurnya hampir setengah abad itu dengan tatapan kesalnya. "Beruntung mulutmu masih kubebaskan untuk mengata-ngatai putramu sendiri, bagaimana jika aku menebasnya dengan pedang buatanmu?"

"Dasar manusia tidak tahu diri! Sejak kecil kubesarkan kau hingga tumbuh sebesar ini. Sekarang kau sudah besar dan kau malah tumbuh menjadi pria yang bodoh!" tutur Shao malas.

"Kau menyesal mempunyai putra tampan sepertiku? Sudahlah, Shao! Sebentar lagi kau juga akan musnah di tangan putramu sendiri."

"Menyesal aku mengajarimu perihal tata krama bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua dan mengedepankan sopan santun,"

"Kau tidak melihatnya?" ucap Bain seraya menunjuk rahang kanannya. "Jangan sampai kau menjadi bahan uji coba atas pembalasanku terhadap Xeon, Ayah."

Hal itu membuat Shao bangkit dari duduknya, kemudian mendekat ke ranjang tempat Bain terbaring tadi. Gerak-gerik ayahnya membuat Bain waspada jika sampai orang dewasa itu juga melancarkan serangannya tiba-tiba.

"Sampai kapan kau akan mengejar putri Xan Martis, Bain?"

"Sampai gadis itu jatuh dalam genggamanku."

Jawaban Bain membuat Shao tertawa lepas sembari bertepuk tangan kagum. "Rupanya putraku memiliki keberanian yang perlu diapresiasi. Tapi, kau salah sasaran, Bain. Mengincar putri Xan Martis sama saja menjemput ajalmu sendiri."

"Apa salahnya mencoba? Akan kubuktikan kalau aku benar-benar mampu mendapatkan Esha, Ayah, lihat saja nanti!" Tingkat percaya diri Bain cukup tinggi saat ia membahas kekuatannya di hadapan Sang Ayah.

Shao hanya merotasikan bola matanya malas. Entah bagaimana cara membuat putranya sadar bahwa apa yang ia lakukan selama ini salah. Berulang kali pria ini mencoba menyadarkan Bain. Perihal Bain yang berbohong padanya mengenai Iovis, sebenarnya Shao sudah tahu sebelum Bain mengatakannya.

"Sepertinya aku harus membawamu ke air terjun Southeast untuk menyucikan dirimu dari pengaruh hitam yang semakin lama menutup hati nuranimu,"

"Ulangi! Kau mengatakan apa? Pengaruh hitam? Harus berapa kali aku mengatakan kalau ini perihal takdir, Ayah?" geram Bain yang kini ikut berdiri menyusul Shao yang baru saja meninggalkan ruangan biliknya. "Kuyakin ada seseorang yang sengaja membuat ketentuan gila seperti ini dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya. Itu sebabnya aku ingin membawa Esha untuk terlepas dari ketentuan berkedok kutukan ini, Ayah!"

"Terserah apa maumu, Bain. Sekarang aku tidak akan mencampuri urusanmu dan aku tidak akan mengganggumu lagi," pasrah Shao.

"Bagus, Ayah! Kalau begitu, aku akan lebih untuk mudah mendapatkan apa yang aku mau tanpa halangan," seru Bain yang pura-pura terlihat bahagia atas ucapannya.

"Satu hal yang ingin kutanyakan padamu. Bagaimana perasaanmu jika kau tau bahwa putramu ini merupakan penerus terakhir Veneris?" Pertanyaan Bain membuat langkah kaki Shao berhenti dan diikuti oleh Bain yang sedari tadi mengekor di belakangnya.

"Kau yakin?"

Bain terkekeh pelan. Tangannya tergerak menyugar rambut hitam pekatnya. "Putramu ditakdirkan untuk terlahir sebagai penerus terakhir Veneris, Ayah. Aku yakin kau pasti paham,"

"Siapa yang mengatakannya padamu? Kau tahu fakta itu dari mana, huh? Jangan bermain-main dengan ucapan itu, Bain!"

Tangan kanan Bain mengeluarkan permata hitam yang entah sejak kapan ia memilikinya. Tatapan terkejut dari Shao pun tak terelakkan. Pria itu mundur selangkah. Sudah Bain duga, pria di hadapannya itu pasti terkejut. Namun, beberapa detik setelahnya, keterkejutan Shao segera tergantikan dengan tatapan datarnya.

"Jangan mengada-ada terlalu tinggi, Bain." Mengingat putranya ini memiliki kemampuan untuk merubah apa pun yang ia inginkan. Bisa saja Bain meniru permata itu.

Permata yang ada di tangan Bain itu persis seperti sembilan permata hitam yang mengelilingi permata biru yang ada di air terjun Southeast. Entah di mana letak pastinya, tapi permata itu hanya bisa ditemukan oleh keturunan Iovis terakhir.

"Aku tidak mengada-ada, Ayah. Ini adalah satu dari sembilan permata  yang ada di kota Southeast. Karena akulah kuncinya."

"Tidak! Kau sama sekali tidak pernah terhubung dengan permata itu. Jangan mengada-ada, Bain!" ucap Shao yang sebenarnya ia sekarang dalam posisi was-was. "Kau sudah terlalu banyak berbohong, kupikir aku mempercayaimu begitu saja, Bain? Tidak, tentu tidak!"

"Terserah, aku tidak memintamu untuk percaya padaku. Aku hanya berpesan padamu, Ayah. Jika sampai aku benar-benar mampu mendapatkan Iovis terakhir dan menyelesaikan ketentuan hari lahir itu, jangan sekali-kali kau datang mengunjungiku atau sama saja kau menjemput ajalmu sendiri."

Lagi-lagi ucapan Bain membuat Shao terbahak-bahak meskipun hatinya gelisah tak karuan. "Aku bahkan tidak mempercayainya, untuk apa aku mencarimu nanti?"

"Kalau begitu, mari buktikan kebenaran atas ucapanku saat ini juga, Ayah." Permata hitam di tangan Bain kembali menghilang. Bain tersenyum licik pada pria yang selama ini ia panggil ayah itu, yang kini terlihat sedikit gugup menatapnya.

"Buktikan kalau kau benar-benar keturunan terakhir Veneris, sekarang juga!" tegas Shao beserta jantungnya yang berdegup lebih kencang dari biasanya.

Ini bukan pertama kali Shao menghadapi Bain. Selama ia melatih Bain, ia tak pernah merasa sepanik ini saat menghadapi putranya.

"Dengan senang hati, Ayah."

Bain maju lebih dulu membawa Shao menggunakan teleportasi-nya menuju sebuah hutan di kota North. Shao kembali dikejutkan dengan Bain yang memiliki kemampuan melakukan teleportasi. Di kepalanya bertanya-tanya, sejak kapan putranya menyembunyikan kemampuannya itu?

"Teleportasi itu juga baru permulaan, Ayah. Aku ingin menunjukkan sesuatu lebih banyak, padamu. Akan kuberitahu semuanya jika kau berhasil menahan seranganku, Ayah!"

Sedari tadi Shao sudah bersiap dengan kuda-kudanya. Bersiap menghadapi segala kemungkinan yang ada. Sepertinya putranya itu sedang tidak bercanda.

Satu persatu serangan dilancarkan oleh Bain yang lama-kelamaan membuat Shao kewalahan. Di satu sisi Shao bangga terhadap perkembangan putranya. Di sisi lainnya ia takut jika sampai orang lain harus meregang nyawa akibat ulah putranya.

Serangan demi serangan terus Bain lancarkan sampai di mana Shao lengah, pedangnya kini bergerak cepat ke depan. Mata pedangnya yang bersih kini mulai berlumuran darah. Pedang dengan permata biru di gagangnya itu kini bersarang pada jantung sang pembuat pedang.

Bain berhasil membunuh Shao menggunakan pedangnya sendiri yang rupanya menjadi salah satu impiannya selama ia belajar berpedang bersama Shao.

"Maaf dan terima kasih untuk semua yang pernah kau ajarkan padaku, Ayah. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya."






°•°•°

Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now