2. Pedang untuk Esha

20 11 0
                                    

•°•°•

Dua hari tanpa bertemu Esha bagi Bain sudah seperti kehilangan semangat hidupnya. Bain sama sekali belum berniat menunjukkan dirinya di mata Esha. Bain masih mengurung diri di rumahnya. Sabtu kemarin, Bain diajak ayahnya untuk membuat pedang untuknya dan tentunya untuk teman-temannya. Kini Shao mengiyakan ajakannya.

Tentu saja Bain memilih bagiannya membuatkan pedang khusus untuk Esha. Dia mendesain bentuk pedangnya sesuai kata hatinya. Hingga jadilah pedang pendek untuk perempuan yang diam-diam Bain cintai.

Senyum puas tercipta di bibir Bain. Ia memandang pedang buatannya yang terlihat gagah dengan permata yang terdapat di gagang pedangnya serta inisial nama Esha di ujung gagangnya. Bain sudah membayangkan betapa kerennya Esha kala menggunakan pedang buatannya. "Lihat, Ayah! Keren, kan?" kata Bain menyombongkan diri.

Shao terkekeh melihatnya. Putranya belajar baik darinya. "Tentu saja, itu karena aku yang mengajarimu." Senyum Bain surut seketika dan tergantikan dengan tatapan malasnya.

"Ini, berikan pada Esha dan sampaikan padanya agar dia menjaganya baik-baik," ucap Shao sembari menyodorkan sebuah pisau belati kecil yang dibuat khusus oleh Shao untuk Esha. Sama seperti Bain, Shao juga menggoreskan nama Esha di gagang belati itu.

"Baiklah, akan kusampaikan nanti." Bain menerima belati pemberian ayahnya yang kemudian ia menyimpannya bersama pedang untuk Esha yang ia buat tadi. "Mungkin aku akan mengajak teman-temanku berlatih bersama nanti. Tentunya bersama pedang ini."

Shao hanya mengangguki ucapan Bain. Ia tau, putranya memang sering kali mengajak sahabatnya untuk berlatih bersama. Sudah lama pula Bain merencanakan untuk membuat pedang untuk para sahabatnya. Kebetulan hari ini Shao tidak memiliki kesibukan yang terlalu padat. Jadi, Shao mengajak Bain untuk membuat pedang bersamanya.

"Sampai kapan kau akan terus menyembunyikan perasaanmu, Bain?" tanya Shao mendadak di sela kegiatannya.

"Memangnya kenapa? Kenapa Ayah tiba-tiba berkata seperti itu?" jawab Bain yang justru kembali bertanya pada Shao. 

"Tidak apa-apa, aku hanya bosan melihat putraku selalu dilanda perasaan gundah setiap kali tidak bertemu dengan gadis manis itu,"

Sialan, batin Bain. Tanpa berkata apapun, Bain justru pergi meninggalkan ayahnya sendirian di tempat pembuatan pedang yang ada di belakang rumahnya. Perkataan ayahnya membuat Bain berpikir keras. Namun, di satu sisi Bain juga membenarkan ucapan Shao. Hendak sampai kapan ia terus menyimpan perasaannya dan harus memendamnya sendirian?

"Sudahlah! Apa yang kau pikirkan, Bain?! Ayahmu itu benar, dan kau selalu salah! Ingat itu!" ucap Bain sembari menatap pantulan dirinya di kaca besar yang terdapat di kamarnya. "Lagipula, siapa yang memutuskan untuk berbohong dengan ayahmu sendiri? Kau! Itu kau, Bain! Itu salahmu sendiri!"

Selama ini Bain menyembunyikan sesuatu dari Shao. Ia sama sekali tidak berniat membohongi ayahnya, tapi entah mendapat keberanian dari mana Bain justru mengatakan fakta yang salah kepada ayahnya. Perihal Iovis, Bain berkata pada ayahnya jika Esha tidak memiliki nama Iovis. Melainkan sama sepertinya yaitu Veneris. Akan tetapi, lama kelamaan Shao juga mengetahui apa yang disembunyikan boleh putranya.

Keren bukan? Bain berbohong akan sesuatu yang besar. Perihal hari lahir begitu berbahaya untuk dibuat mainan.

Penduduk Ventus sendiri begitu mempercayai ketentuan hari lahir. Karena memang kepercayaan mengenai ketentuan itu terus diturunkan dari generasi ke generasi. Mengenai Iovis alias siapapun yang lahir di hari Kamis tidak boleh bertemu dengan seseorang yang lahir di hari Jumat atau bisa disebut dengan Veneris, di antara hari lahir keduanya.

Sedangkan Bain, entah sudah berapa kali mengabaikan ketentuan itu. Padahal, sudah jelas nyawa mereka yang akan menjadi taruhan kala keduanya bertemu di salah satu hari antara Kamis maupun Jumat.

Awalnya memang tidak terlalu menimbulkan efek bagi Esha atau Bain sendirii. Namun, setelah usianya yang menginjak tujuh belas tahun, kini Bain mulai merasakannya. Entah apakah Esha juga merasakan hal yang sama seperti Bain atau tidak. Akan tetapi, sudah pasti gadis itu juga merasakannya. Hanya saja Bain tidak mengetahuinya.

"Tuhan, haruskah nasibku seperti ini? Kau memberiku takdir yang cukup membuatku muak, Tuhan! Kau bahkan mendatangkan Esha kepadaku hanya untuk membuatku tersiksa dan kemudian meninggalkannya. Untuk apa Kau mempertemukanku dengan Esha jika itu hanya akan menimbulkan luka? Untuk apa, Tuhan?!"

Bain sadar. Sekeras apapun dirinya marah atau memprotes segala ketetapan yang telah ditentukan oleh Sang Kuasa, itu sama sekali tidak akan merubah nasibnya. Memangnya apa yang akan dia terima jika dirinya tak berusaha?

"Sebelum hari Kamis, aku harus menemui Esha. Mungkin aku akan membuat alasan kepadanya jika aku tak bisa bertemu dengannya di hari Kamis ataupun hari Jumat," putus Bain yang akhirnya pasrah.

Satu hal lagi. Bain juga berbohong pada Esha mengenai hari lahirnya. Dia mengatakan kalau dirinya sama-sama memiliki nama Iovis seperti Esha. Masalah kecil ini membuatnya semakin banyak untuk berbohong kepada orang-orang.

"Pembohong sepertiku apakah pantas mengharapkan seorang Xiela Iovis Ebshaara? Aku terlalu rendah, tapi impianku mendapatkan gadis yang tinggi kedudukannya itu."

Bain tau, Esha merupakan keturunan Iovis yang terakhir. Posisinya begitu tinggi sehingga banyak dihormati orang-orang yang memang sudah mengetahuinya. Kala itu petani Amen memberi tahu Bain sebuah fakta mengenai Esha yang justru membuatnya semakin jatuh cinta pada gadis itu.

Bukan karena kedudukan. Melainkan sifatnya yang begitu lembut, tegas, dan tulus. Esha juga sama sekali tidak pernah tinggi hati. Esha adalah gadis yang baik dengan segala kelebihannya. Bain belum menemukan di mana letak kekurangan seorang Esha.

Salah satu kebiasaan Esha yang membuatnya rindu jika ia tak bertemu dengannya adalah apel yang menjadi candunya. Gadis itu begitu menyukai apel. Begitu pula dengan Bain yang tidak bosan-bosannya menemani Esha mencari apel atau sekedar memanen apel di kebun milik petani Amen. "Sungguh gadis itu membuatku gila seperti ini. Aku harus apa? Terlahir kembali pun rasanya mustahil. Kalau saja aku bisa meminta pada Tuhan agar aku tidak dilahirkan di hari Jumat. Sayangnya, aku tak mampu melawan takdir."

"Tunjukkan aku jalan yang benar, Tuhan. Jika memang aku ditakdirkan untuk bersamanya, maka permudahkan jalannya," ucap Bain seraya berdoa kepada Tuhannya.

Bain tergerak merebahkan tubuhnya di ranjang tempat tidur. Ditatapnya langit-langit ruangan ini yang didekorasi dengan motif abstrak berwarna biru bercampur hitam. Kedua tangannya diangkat. Telapak tangannya yang putih bersemu kemerahan. Seketika muncul cahaya hitam berbentuk permata di pergelangan dekat urat nadinya.

Bain menatapnya datar. Tanda lahir itu mengingatkan fakta bahwa dirinya lahir di hari Jumat. Karena warna hitam adalah simbol hari Jumat. Sementara di telapak kirinya muncul cahaya biru yang membentuk seperti bola. Biru yang menandakan hari Kamis. Kekuatannya mampu memanipulasi warna cahaya aslinya menjadi warna yang diinginkan pemiliknya. Itu sebabnya Bain memiliki cahaya biru yang sama seperti Esha.

Cahaya yang semula biru, kini berubah menjadi biru kehitaman. Namun, warna hitamnya yang lebih dominan. Jujur Bain lebih terkesima melihat percampuran dua warna itu. Karena itu adalah perpaduan antara warna Veneris dan warna Iovis.

°•°•°

Iovis Ebshaara✓ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now