02-Mencurigakan

1.3K 135 27
                                    

Sudah bermenit-menit perjalanan, tetapi Satya masih menyaksikan Ghava hanya bungkam. Ia baru saja menjemput Ghava pulang sekolah dan langsung melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Biasanya, Ghava akan selalu menemukan topik untuk dibicarakan dengan ayahnya. Namun, Satya hanya ditemani oleh kebungkaman, bahkan Ghava tidak bertanya tentang keadaan Ghazy. Anak itu seperti sedang merenungkan suatu hal yang entah apa.

"Kok diem terus, Gav? Laper kah? Mau mampir makan dulu?" Satya pada akhirnya mengalah untuk memulai pembicaraan. Ghava sepertinya tidak akan bicara jika tidak dipancing.

"Enggak laper, kok."

"Terus kenapa diem aja dari tadi? Ada masalah di sekolah? Ada yang ngusilin kamu lagi?"

Ghava menghela napas. Ia mengalihkan pandangan dari suasana di luar jendela, beralih menatap sang ayah. "Emangnya ... Ghava salah banget ya karena kemarin udah ngajak Ghazy main? Ghava nggak bisa jadi kakak yang baik ya, Yah? Makanya sekarang Ghazy sakit."

Mendengar itu, Satya melirik Ghava sekilas. Ia kemudian memberikan sebuah gelengan. "Siapa yang bilang Ghava nggak bisa jadi kakak yang baik? Ghava itu kakak terbaik buat Ghazy. Ghazy sakit ya karena emang lagi waktunya sakit aja. Lagi disuruh istirahat, soalnya adik kamu itu kan emang maunya gerak terus. Nggak bisa diem."

Ghava menunduk. Ucapan sang ayah belum bisa sepenuhnya membuat Ghava lega. "Tapi kata Ibu, Ghava harusnya jagain Ghazy dan jangan bikin dia sakit. Padahal pas itu Ghava cuma pengin biar Ghazy bisa main. Katanya Ghazy bosen ikut les bahasa. Penginnya olahraga aja, makanya Ghava iyain."

Satya tersenyum kecil. Ia mencoba memahami cara Ghava menafsirkan ucapan ibunya. Mungkin Tari juga salah karena menimpakan tanggung jawab seperti itu pada Ghava, di saat kedua anaknya hanyalah remaja seumuran yang punya banyak hal baru untuk dicoba bersama-sama.

"Mungkin maksudnya Ibu itu, boleh ajak Ghazy main tapi ada aturannya juga. Menurut Ghava, kemarin yang bikin Ibu marah banget karena apa coba?"

"Karena Ghava nggak larang Ghazy main."

Satya mengangguk-angguk. "Main sambil hujan-hujanan lebih tepatnya. Kalau kemarin kalian nggak pulang basah kuyup dan nggak bohong soal les tambahan, mungkin Ibu bakal biasa aja. Jadi, bukan karena Ghava nggak bisa jadi kakak yang baik. Tapi karena kalian udah ngelewatin batas, makanya Ibu tegur."

"Gitu, ya?"

"Huum. Terus juga biasanya, rasa khawatir seorang ibu sama ayah itu beda. Ibu itu lebih perasa, makanya lebih emosional kalau ada apa-apa sama anaknya. Ibu marahin kalian itu karena sayang, nggak pengin lihat kalian sakit."

Ghava mulai memahami. "Kalau gitu, maafin kita ya, Yah? Besok-besok janji deh nggak akan main sambil hujan-hujanan. Nggak akan bohong juga."

Satya tersenyum lebih lebar. Satu tangannya terulur mengusap puncak kepala putranya. Meski janji itu ia yakin hanyalah ucapan sekelebat dari remaja 14 tahun, tapi Satya bangga karena Ghava mau mengakui kesalahannya.

Beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Satya mengikuti langkah lebar Ghava dan memintanya untuk pelan-pelan saja. Sepertinya anak itu sudah tidak sabar bertemu adiknya.

"Ghazyyy!" Ghava langsung berlari mendekat usai membuka ruang rawat Ghazy. Ia ingin memeluk adiknya, tetapi urung saat menyadari selang infus terpasang di punggung tangan Ghazy. Ia takut jika gerakannya akan membuat selang itu terlepas dan melukai Ghazy.

"Sakit banget ya ini?" tanya Ghava sambil menunjuk infus di tangan Ghazy.

"Pegel dikit, tapi nggak apa-apa. Untung pas disuntiknya aku lagi nggak sadar." Ghazy sedikit bersyukur, meski saat dicabut nanti mungkin ia akan membuat semua orang kewalahan.

How to Say "Goodbye"?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang