04-Janggal

758 114 26
                                    

Hari ini, Ghava pulang dari kegiatan ekskul hanya bersama Pak Hasan. Ghazy sudah pulang lebih dulu karena Tari menjemputnya dan meminta sang adik untuk langsung pulang. Tak langsung menuju rumah, Ghava meminta Pak Hasan untuk mampir ke toko alat tulis. Ia hendak membeli beberapa karton, kain flanel, dan peralatan lain yang merupakan titipan dari Ghazy.

Ghava sudah menemukan beberapa benda yang ia cari. Lelaki itu masih melihat-lihat dan mencari benda lain yang diperlukan. Namun di tengah kegiatannya, Ghava merasa seperti ada yang mengawasi.

Seorang pria sedari tadi tampak mencuri pandangan terhadapnya, bahkan melempar senyuman yang entah apa artinya. Ghava tak membalasnya dan langsung memalingkan muka. Dari perawakan dan wajahnya, pria itu tidak begitu asing. Ghava berusaha abai. Mungkin memang hanya kebetulan ia bertemu lagi dengan orang itu dan tak perlu ia curigai.

Merasa tak nyaman, Ghava beralih menuju etalase lain. Setelah cukup lama memutari tempat itu, akhirnya Ghava menemukan alat lem tembak yang sedari tadi ia cari. Ia mengambilnya satu.

"Ghava!"

Ghava terlonjak kaget saat merasakan seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ia bahkan sampai menjatuhkan benda di tangannya dan bergerak panik untuk sedikit menjauh. Sedari tadi, ia memang sudah was-was. Sekarang malah orang yang menjadi alasan kewaspadaannya justru terang-terangan memanggil namanya. Yang Ghava sendiri tak ingat, kapan ia memberitahu namanya pada pria itu.

"Lho, kenapa?" Pria dengan topi dan pakaian serba hitam itu memunguti brlanjaan Ghava yang berjatuhan, lantas mendekati anak itu. "Nih, pegangnya yang kenceng biar nggak jatuh lagi."

"M-makasih." Ghava mengambil barang-barang itu dengan gerakan cepat. Mendengar suara pria itu dan mengamatinya dari dekat, Ghava semakin yakin siapa orang itu.

"Kamu Ghava, kan? Yang anaknya Pak Satya?"

Ghava mengangguk. Ia pastikan jika orang itu adalah pria yang juga ditemuinya beberapa hari lalu di komplek perumahannya. "Iya."

"Kok kamu kayak takut sama saya, sih? Saya temennya ayah kamu, kok. Salam ya buat dia."

Ghava tersenyum canggung, lantas memberi anggukan kecil. Lelaki itu mengelap keringat yang entah sejak kapan mengalir di pelipisnya, meskipun ruangan itu ber-AC. Ghava merasakan ketakutan pada orang asing itu. Dari cara bicara, ekspresi wajah, juga gerakan spontan saat orang itu hendak menyentuhnya, membuat Ghava semakin tidak nyaman. Bahkan bukan hanya kali ini Ghava melihat orang itu ada di tempat yang sama dengannya. Hanya saja, baru sekarang orang itu berani berkomunikasi seperti ini.

"Saya duluan ya, semoga kita ketemu lagi lain waktu. Saya pastikan itu."

Ghava buru-buru menyandarkan tubuh pada tembok usai orang itu menjauh darinya. Ia mengeluarkan ponsel dari tas, kemudian mencoba menghubungi seseorang. Ia benar-benar merasa tidak aman.

***

"Ibu, kok Ghava belum pulang-pulang ya?" Ghazy berjalan lesu mendekati ibunya yang tampak sibuk membuat adonan roti bersama Bi Ais. Ia benar-benar gabut karena tidak ada Ghava yang bisa diajak bermain atau mengobrol.

"Sabar, sayang. Paling bentar lagi juga pulang," ucap Tari yang tengah mencampurkan bahan kue dengan mixer. Ia tertawa kecil melihat Ghazy yang meluruhkan bahu dan berjalan padanya dengan wajah tak bersemangat.

Ghazy memeluk Tari dari belakang, menyandarkan kepala di punggung wanita itu dengan nyaman. "Ibu wangi terus deh, pantesan Ayah suka nempel kayak gini. Keknya Ghazy juga bakal sering-sering gini deh, wanginya enak."

Tari tertawa, tak habis pikir dengan ucapan anaknya. Akhir-akhir ini, putra bungsunya itu memang sangat suka menempel padanya. Padahal tidak biasanya Ghazy suka bemanja padanya seperti ini.

How to Say "Goodbye"?Where stories live. Discover now