09-Duka Mendalam

1K 120 85
                                    

Ghava tidak tahu apa yang telah pria di luar sana lakukan pada adiknya. Ia masih bersembunyi di dalam lemari dan berusaha menghubungi siapa pun termasuk kantor polisi. Meski gerakannya tak leluasa dan rasa takutnya semakin menjadi, Ghava terus mencari bantuan.

Ghava menahan isakan saat suara penuh permohonan Ghazy makin terdengar memilukan. Teriakan dan tangis histeris saudaranya bagai meremukkan hati Ghava hingga berkeping-keping.

"Sakit ... s-sakit ...."

"Va ... Gha-va ... to-long."

Tak lama, suara Ghazy terdengar samar, seperti tertahan karena terbekap sesuatu. Ghava tak tega, tapi ia tak berani menghadapi orang itu sendiri.

"Mati kamu, mati! MATI!"

Mendegar suara itu yang diiringi oleh tawa jahat, air mata Ghava turun makin deras. Sekitar beberapa menit suasana hening, Ghava mengumpulkan keberanian untuk keluar. Ia sudah tak bisa menahan diri dengan tetap diam dan membiarkan saudaranya tersiksa.

Ghava menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Ia melihat ke bawah dan samping tubuhnya, berharap ada benda yang bisa ia jadikan pegangan untuk melawan. Namun, tak ada apa pun di sana sehingga Ghava akhirnya keluar dengan tangan kosong. Pelan-pelan, lelaki itu mulai membuka pintu.

Sayangnya, Ghava terlambat. Tepat setelah ia membuka pintu lemari, ia disuguhkan dengan sebuah pemandangan yang nyaris membuatnya pingsan saat itu juga. Lutut Ghava terasa begitu lemas hingga ia seketika jatuh terduduk. Pandangannya hanya terfokus pada raga di depan sana.

Ghava merangkak mendekati tubuh Ghazy yang terbaring sekitar tiga meter di hadapannya. Tubuh adiknya tampak sangat mengenaskan. Tergolek lemah. Nyaris tanpa sehelai pun kain. Darah menggenang di mana-mana.

Ghava meraih seragam putih Ghazy yang teronggok tak jauh dari posisinya. Ia kemudian membenarkan letak celana yang dikenakan adiknya dengan menangis tersedu-sedu.

"Zy, Ghazy ... ma-af." Ghava menyentuh luka di perut dan dada Ghazy dengan tangan bergetar. Ia urung memakaikan pakaian atas Ghazy, dan memilih menggunakan kain itu untuk menahan luka yang terus mengalirkan darah segar. Ia tak pernah berpikir jika keadaan Ghazy akan semengenaskan ini. Ghava benar-benar menyesali perbuatannya yang memilih untuk terus bersembunyi.

"Ghazy ... kamu masih sadar, 'kan?" Ghava menatap mata Ghazy yang masih terbuka kecil, tapi sedari tadi tak berkedip. Ia bertambah panik saat darah perlahan mengalir dari mulut Ghazy yang sedikit terbuka.

Ghava menggeleng keras. Ia menangkup wajah Ghazy dengan kedua tangan, mengelap darah yang sudah mengotori sebagian wajah adiknya.

"Zy, k-kamu denger aku kan? Jawab aku, Zy. Jangan tutup mata ... please. Maaf, Zy, ma-af."

Ghava merasa dadanya seperti dihimpit kuat, benar-benar sesak kala melihat kondisi Ghazy seperti ini. Ia tak henti merutuki dirinya yang sudah egois dengan memikirkan diri sendiri. Andaikan ia bisa menolong, mungkin Ghazy tak akan semenderita ini. Atau setidaknya, ia tidak meninggalkan Ghazy terluka sendirian. Sebab Ghava sadar jika harusnya ia yang menanggung luka-luka itu. Bukan Ghazy.

"Zy ... ma-af ya? Harusnya aku yang sakit, maaf Ghazy." Ghava menepuk-nepuk pipi adiknya, memanggil anak itu dan memintanya membuka mata. "Ghazy, jangan tidur. Bangun, please. Kamu denger aku kan?"

Ghava menatap lekat-lekat wajah adiknya sambil menangis sesegukan. Ia menggeleng kuat saat kedua mata adiknya semakin tertutup erat. "Enggak, enggak, enggak! Zy, jangan tutup mata! Ghazy! Ghazy, bangun!"

Ghava histeris ketika kedua mata Ghazy akhirnya tertutup sempurna. Ia mendekatkan telinga ke hidung adiknya, berharap dapat merasakan napas yang berembus. Ghava berpindah memandang dada adiknya, tetapi di sana pun tiada lagi gerakan naik turun. Ia panik bukan main, berteriak memanggil Ghazy dan meminta tolong pada siapa pun dengan suara yang nyaris habis.

How to Say "Goodbye"?Where stories live. Discover now