19-Selisih Paham

456 95 50
                                    

Pagi-pagi, rumah yang telah kehilangan kehangatan itu semakin terasa dingin. Ghava duduk di kursi makan dengan telinga tak habis mendengarkan perdebatan ayah ibunya. Ia memaksakan mulutnya mengunyah makanan, meski netranya sudah memupuk air mata.

"Dulu aja kamu dukung aku buat kerja lagi, kenapa sekarang nggak kasih izin?" Tari terus menggerutu, tapi tangannya tetap sibuk menyiapkan bekal makan Ghava. Wanita itu telah siap mengenakan pakaian rapi, hendak memenuhi panggilan kerja usai pengumuman penerimaan seminggu lalu. Namun sayangnya, Satya terus mendebat dirinya meski ia sudah memohon-mohon agar diizinkan.

"Kamu nggak lihat kondisi? Dulu aku kasih izin karena situasinya nggak kayak sekarang. Coba kamu pikirin, kalo di rumah nggak ada aku dan kamu, siapa yang bakal jagain Ghava kalo dia butuh sesuatu?" Satya jelas melarang Tari bukan tanpa alasan. Ghava pun sejak kemarin-kemarin sudah bicara padanya untuk tidak mengizinkan Tari bekerja.

"Kamu pikir aku nggak pertimbangin itu? Di sini selalu ada Bi Ais, ada Mbak Jihan, ada satpam juga. Aku cuma pengin cari suasana lain, kenapa nggak boleh?"

"Bukannya nggak boleh, tapi waktunya belum tepat. Aku---"

"Terus kapan waktu yang tepat?!" potong Tari dengan cepat. Ia sudah tak dapat lagi menahan emosi dan wanita itu pun kini mulai menangis. "Kalian pikir cuma kalian yang butuh pelarian setelah kehilangan Ghazy?!" Tari menatap Satya dan Ghava dengan tatapan penuh luka.

"Kalian nggak pernah tau sedalam apa rasa sakit Ibu. Kalian nggak bisa paham kalau Ibu juga menderita. Setiap kali Ibu ke kamar, ke dapur, ke ruang keluarga, ke mana pun, Ibu selalu kebayang sama Ghazy. Ibu juga butuh suasana yang bikin Ibu nggak keinget Ghazy terus. Ibu juga nggak pengin sedih terus-terusan, kenapa kalian sama sekali nggak ngerti?!"

Ucapan Tari berhasil membuat Satya dan Ghava terdiam. Bahkan Ghava sudah berlinang air mata dan mengabaikan sarapannya begitu saja. Tak dapat menahan diri untuk tetap tegar, Tari akhirnya memilih pergi. Ia meletakkan sendok di tangannya dengan kasar, lantas mengambil tas juga kunci mobil. Tanpa memedulikan panggilan Satya, Tari setengah berlari menuju pintu utama. Satya pun dengan segera mengikuti langkah wanita itu.

Sementara di tempat duduknya, Ghava hanya bisa menangis tanpa suara dan tanpa ekspresi. Ia mengusap pipinya berkali-kali meski air mata itu seolah tak menemui ujung. Hatinya sakit sekali menyaksikan kemarahan sang ibu dan mendengar ungkapan keluh kesahnya. Ghava merasa sangat bersalah karena harus merengek pada ayahnya, meminta agar Tari membatalkan keputusannya. Jika ia tidak egois, mungkin perdebatan antara orang tuanya tidak akan pernah terjadi.

***

Sepanjang jam pelajaran, Ghava tak mengikutinya dengan baik. Ia terus terbayang pada kejadian di rumah pagi tadi, dan hal itu sangat memengaruhi suasana hatinya. Kadang rasa bersalah muncul, tapi tak lama setelahnya digantikan oleh kemarahan. Kepalanya terasa sangat ribut, seolah sedang beradu argumen tentang perasaan mana yang patut divalidasi.

"Aku kan lagi sakit, Ibu harusnya juga bisa ngerti," ucap Ghava dalam batinnya. Ia berusaha membentengi diri agar tidak tenggelam dalam jurang rasa bersalah. Orang-orang sering bilang padanya, bahwa rasa bersalah yang berlebihan akan membuat hatinya tak tenang. Sama seperti ketika ia teringat kesalahannya pada Ghazy dan berakhir menangis seharian. Baginya, kasus ini juga sama. Di sini, ia berusaha yakin jika dirinya sama sekali tidak bersalah.

Tapi kamu egois. Kamu bikin Ibu kamu nangis

Suara yang seperti cerminan lain dirinya itu selalu datang dan mematahkan keyakinan Ghava. Terlebih saat terbayang pada wajah sedih ibunya dan perkataan menyakitkan wanita itu. Nyatanya Tari juga sama hancurnya dan Ghava memang tak pernah mau mengerti.

How to Say "Goodbye"?Where stories live. Discover now