13-Mencoba Terbaik

730 104 32
                                    

Satya masih sibuk dengan laptopnya saat Ghava sudah tidur. Ia duduk di sebelah putranya sembari menyelesaikan pekerjaan kantor. Namun di tengah kegiatannya, ia mendapati Ghava yang terus mengigau. Anak itu seperti tak tenang dalam tidurnya.

"Buka ... gelap."

Ghava menggumam meski matanya masih terpejam. Keringat telah membasahi tubuh anak itu, napasnya berderu tak teratur.

"Tolongin adikku ... tolong."

Satya menyingkirkan laptop dan menaruh sepenuhnya perhatian pada Ghava. Tadinya ia pikir Ghava akan segera membaik dan tidur lagi dengan tenang. Namun semakin lama, anak itu justru semakin gelisah dan mulai menangis dalam tidurnya. Satya akhirnya mencoba membangunkan Ghava, meski tak tega karena anak itu belum terlalu lama tertidur.

"Ghava?" Satya mengusap pipi Ghava, sedikit menepuknya.

"Jangan ... jangan diapa-apain."

"Ghazy ...."

Satya makin panik sebab Ghava terus menangis dengan napas tersengal-sengal. Sekujur tubuhnya pun terlihat tegang dan gemetar. Satya mulai mengguncangkan tubuh Ghava agar anak itu lekas bangun.

"Bangun, Ghava. Bangun dulu, hey."

Ghava terbangun dengan keringat yang terus bercucuran. Ia panik sebab hanya ada cahaya remang di dalam kamarnya. Suasananya mengingatkan Ghava pada mimpi buruk yang ia alami.

"Gelap ... gelap, nyalain lampu!"

Satya segera menyalakan lampu utama di kamar Ghava. Ia menyesal sebab memilih untuk menggunakan lampu tidur saja. Ia lupa jika sejak hari itu, Ghava selalu takut berada di ruangan gelap.

"Sttt nggak papa, nggak papa. It's okay, nggak ada apa-apa. Ayah di sini, Ghava aman. Coba diatur napasnya, tenang." Satya mengusap-usap dada Ghava. Anak itu sudah dalam posisi duduk dan tengah mencoba mengatur napas.

Dasar pengecut

Kamu harusnya bisa nolongin adik kamu

Ghava tersentak saat suara asing itu kembali terdengar. Ia menatap sekeliling dengan gelisah, mencari-cari sumber suara yang sangat mengganggunya. Ghava mengusap-usap telinga saat suara itu semakin dekat dan memekakan.

"Ghava, kenapa? Jangan digituin ntar sakit." Satya menurunkan tangan Ghava dan menahannya. Ia kemudian memeluk anak itu, berharap dapat memberi ketenangan pada Ghava.

"Nggak apa-apa, Ghava aman di sini. Tadi cuma mimpi buruk." Satya mengusap punggung Ghava dan menyadari jika pakaian yang anak itu kenakan sudah basah oleh keringat. "Ganti baju dulu yuk, nanti masuk angin kalo pakai baju basah gini."

"Berisik banget. Suaranya dateng lagi, Ayah."

Satya mengerutkan kening, tak begitu paham dengan perkataan Ghava. Ia merasakan cengkeraman kuat anak itu pada punggungnya. "Suara apa, Nak? Sekarang masih ada?"

"Masih, dia selalu gangguin Ghava kalo tidur, selalu ngomong jahat ke Ghava. Nggak bisa ilang kalo Ghava tutup telinga. Ghava nggak mau tidur lagi, Yah."

Satya mulai bisa memahami. Ia jadi berpikiran jika Ghava mengalami mimpi buruk karena sebelum tidur tadi, Ghava sempat bercerita tentang kejadian traumatis yang anak itu alami. Satya menyesal karena membawa Ghava pada obrolan itu dan berakhir membuatnya seperti ini.

"Besok ketemu dokter ya, biar diilangin suara berisiknya. Tapi Ghava harus tetep tidur yang cukup, nanti Ayah temenin kok." Satya sadar jika suara itu tercipta dari isi kepala Ghava sendiri. Dokter Tyas pernah mengatakan agar Ghava kembali melakukan konsultasi jika gangguan yang dialami semakin intens. Sepertinya anaknya itu belum benar-benar terbebas dari rasa takutnya. Setiap hari, memori kelam itu seperti selalu mengganggu ketenangan Ghava.

How to Say "Goodbye"?Onde as histórias ganham vida. Descobre agora