12-Mencoba Berani

698 100 33
                                    

Ghava memakai seragam dengan cepat setelah selesai mandi. Ia memasukkan beberapa buku dengan asal ke dalam tas, tanpa melihat jadwal pelajaran. Setelah beberapa waktu lalu Tari meninggalkannya di kamar mandi, Ghava buru-buru bersiap untuk ke sekolah. Meski masih tersimpan rasa takut, Ghava lebih tidak ingin jika ibunya seperti tadi lagi. Pasti sang ibu sangat kecewa padanya.

Ghava turun ke lantai bawah dan menuju ruang makan. Ia bisa melihat Tari yang tengah berada di dapur bersama Bi Ais. Ghava menghampiri ibunya lebih dulu.

"Ibu ... Ghava mau sekolah."

Tari menoleh ke belakang ketika mendengar suara Ghava. Ia lekas mengusap cairan bening di kedua matanya yang sembab. Sejak keluar dari kamar Ghava, wanita itu menangis. Ia menyibukkan diri dengan memasak meski sebenarnya tak membantu meredakan sedihnya. Segudang lelah dan tuntutan menjadi tegar membuat Tari tak bisa berbuat apa pun selain menangis.

"Ibu nangis, ya? Maafin Ghava udah bikin Ibu sedih."

"Kamu sarapan dulu, nanti ke sekolahnya Ibu antar." Tari menyuruh Ghava keluar dan mulai menyiapkan keperluan Ghava. Setidaknya ia bersyukur karena Ghava sudah menuruti keinginannya.

***

Sejak adanya tragedi, sekolah ditutup untuk beberapa hari. Polisi datang untuk melakukan penyidikan di lokasi kejadian. Kegiatan pembelajaran pun dialihkan secara daring. Sampai akhirnya, tiga hari lalu para siswa mulai masuk seperti hari biasa.

Berita tentang Ghava dan Ghazy menyebar cepat di seluruh penjuru sekolah. Beberapa wali murid bahkan mengecam sekolah yang tak memberikan keamanan ketat. Namun pihak sekolah berdalih bahwa hal tersebut terjadi di luar jam sekolah, yang artinya sudah bukan lagi tanggung jawab mereka.

Bagi Ghava, sekarang sekolahnya menjadi tempat yang sangat menakutkan. Setiap sudut seolah menyimpan memori mengerikan yang membuat Ghava teringat pada hari itu.

Ketakutan yang Ghava pikirkan mulai menjadi nyata. Setelah sampai di sekolah, ia disambut oleh tatapan intens siswa-siswi yang dilewatinya. Mereka seolah ingin menuntut penjelasan untuk memenuhi rasa ingin tahu, juga saling berbisik dengan teman untuk membicarakan dirinya.

Merasa tak nyaman, Ghava berlari menuju kelasnya untuk menghindari tatapan mereka. Tapi setelah masuk, ia pun mendapat tatapan serupa. Lelaki itu langsung menuju tempat duduknya, tidak menaruh peduli pada para teman yang mulai menanyakan keadaannya.

"Gav, kejadian yang di gudang itu beneran? Merinding banget gue. Kok lo bisa selamat? Lo beruntung banget gila."

Ghava tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Hegar. Ia bahkan enggan untuk sekadar menatap lelaki itu. Ia memilih untuk merebahkan kepala di meja menghadap tembok, membelakangi semua orang.

"Kalo kondisi Ghazy separah itu, harusnya lo minimal luka-luka nggak sih? Tapi kok kayaknya lo sehat-sehat aja? Beneran beruntung banget."

"Berisik!" tegas Ghava tanpa mengubah posisinya.

Mendengar itu, Hegar akhirnya berlalu. Ia tak ingin mengusik Ghava karena takut digentayangi oleh arwah Ghazy. Meski wajahnya sangar, sesungguhnya lelaki itu sangat penakut dengan hal-hal mistis. Daripada diganggu arwah, lebih baik Hegar diam saja.

Sepanjang pelajaran, Ghava tak punya sedikitpun minat untuk mendengarkan guru. Ia tertidur karena sangat mengantuk. Otaknya pun tidak bisa diajak konsentrasi. Untuk pertama kalinya, Ghava tidur di dalam kelas. Siswa lain pun merasa heran karena Ghava biasanya adalah murid paling rajin.

"Itu siapa yang tidur, tolong bangunin!" titah seorang guru yang mulai terganggu dengan Ghava. Pasalnya, anak itu duduk di bangku paling depan dan tampak jelas oleh pandangannya.

How to Say "Goodbye"?Where stories live. Discover now