11-Didekap Takut

817 110 37
                                    

Pertama kalinya sejak Ghazy tiada, Tari menemui Ghava di rumah sakit. Ia terlalu sibuk dengan kesedihan sampai melupakan keberadaan putranya yang lain. Wanita itu bergantian dengan suaminya untuk menjaga Ghava, sebab Satya sibuk dengan urusan hukum usai pelaku kejahatan pada putranya berhasil ditangkap.

Sejujurnya Tari masih sangat terpukul. Tiada hari yang ia lewati tanpa air mata. Semakin ia mengingat wajah pucat anaknya hari itu, semakin kuat pula kepedihan yang menjerat dada. Sebagai seorang ibu, ia tidak akan pernah terima putranya dibunuh dengan cara yang sangat keji. Tari sampai nyaris pingsan mendengar anaknya ditikam berkali-kali dan ditemukan pula tanda pelecehan seksual pada tubuhnya. Hatinya hancur, ia tak bisa membayangkan seberapa menderitanya Ghazy saat itu.

Belum selesai dengan dukanya, melihat Ghava yang enggan diajak bekerjasama membuat perasaan Tari makin kacau. Sedari kemarin, anak itu menolak untuk makan. Ghava hanya mendapat asupan nutrisi lewat infus yang jelas tidaklah cukup. Ia seperti sedang berusaha menghukum dirinya sendiri dengan menyiksa tubuh.

Tari harus mengumpulkan kesabaran sebanyak mungkin untuk mengurus Ghava yang rewel bukan main. Anak itu tidak mau ditinggal, tapi tidak mau juga diajak bicara. Ghava selalu sengaja memuntahkan makanan yang masuk, tiba-tiba panik tanpa alasan, menangis seharian, tak peduli pada orang-orang yang mencoba membujuknya.

"Ayo buka mulutnya, kamu harus makan." Tari menyodorkan sendok ke mulut Ghava, tapi anak itu menutup mulut dan menggeleng ribut. "Ghava, nanti kamu nggak sembuh sembuh kalo nggak mau makan. Tubuh kamu butuh nutrisi, harus makan. Nggak mau kan kalau sakit terus?"

"Biarin. Biarin sakit aja, biar Ghava nyusul Ghazy aja."

"GHAVA!" Tari membentak Ghava saat dirinya mulai hilang kesabaran. Ia meletakkan piring di tangannya dengan kasar ke atas nakas. Wanita itu menahan Ghava yang sudah hendak meringkuk membelakangi dirinya.

"Lepasin, Ghava mau tidur!" Ghava menepis tangan ibunya. Ia meringkuk membelakangi Tari dan menarik selimut hingga sebatas leher.

"Kamu bisa nggak jangan bikin Ibu marah? Ibu cuma nyuruh kamu makan, kenapa susah banget sih? Kalau kamu sedih, semua orang juga sedih, Ghava! Kamu pikir Ibu dan Ayah nggak sedih? Terus sekarang, kamu mau bikin kita tambah sedih dengan bersikap kayak gini?!" Tari berucap dengan setitik air mata yang berhasil lolos. Napasnya memburu, menahan gejolak emosi yang mati-matian ia redam. Ia tidak ingin membiarkan semuanya meluap di hadapan Ghava.

"Ghava nggak laper," lirih Ghava dengan suara bergetar. Ia takut jika ibunya sudah marah-marah seperti ini. Lagipula, ia memang tidak ingin makan. Setiap kali makan, selalu muncul suara-suara aneh yang menyalahkan dirinya. Seperti memberitahu; bahwa ia tidak boleh makan dan lebih baik mati kelaparan saja. Setiap itu terjadi, ia selalu sengaja memasukkan jari ke kerongkongan agar makanan yang sudah ia telan kembali dimuntahkan. Dengan begitu, Ghava tidak akan merasa bersalah.

"Nggak usah bikin alasan nggak laper! Tau nggak sih, semua orang udah capek ngebujuk kamu, Ghava. Ayah bahkan harus bolak-balik ninggalin kerjaan cuma karena kamu nggak pengin ditinggal. Emangnya kamu nggak kasihan? Kamu pikir Ghazy bakal seneng lihat kamu kayak gini? Yang ada dia bakal sedih. Semua orang juga jadi repot. Kalau nggak bisa bantu apa-apa, seenggaknya kamu nurut. Bukan malah memperkeruh suasana!" 

Ghava sudah menangis di posisinya. Ia jadi merasa bersalah pada semua orang yang ia repotkan.

Tari mengembuskan napas kasar, lelah menghadapi Ghava. "Udahlah, Ibu mau keluar aja. Muak dengerin kamu nangis terus, nggak mau disuruh makan. Capek Ibu ngomong tapi nggak kamu dengerin sama sekali."

Mendengar langkah kaki sang ibu, Ghava langsung panik. Ia seketika membangunkan tubuh, tapi ibunya sudah keluar dan menutup pintu dengan keras. Tangis Ghava semakin tak tertahan.

How to Say "Goodbye"?Where stories live. Discover now