07-Bahaya

694 100 70
                                    

Sejak menyaksikan perdebatan Ghava dan Tari, Ghazy merasa tidak tenang. Kakaknya sedari tadi belum keluar dan hanya mengunci diri di kamar. Sang ayah juga mengatakan jika Ghava belum makan malam. Maka dari itu, Ghazy berinisiatif untuk membujuk Ghava.

Ghazy menyusun nasi dan lauk di kotak makan agar ia mudah membawanya. Lelaki itu juga mengambil beberapa snack dan es krim di dalam kulkas, lantas ia masukkan semuanya ke dalam totebag. Kakinya kemudian melangkah menuju kamarnya. Karena Ghava mengunci pintu depan, Ghazy akhirnya masuk ke kamar Ghava lewat pintu lain di dalam kamarnya. Untunglah pintu itu tidak pernah terkunci.

"Ghava?" Ghazy memanggil Ghava sebab tidak mendapati kakaknya di dalam kamar. Ia mengecek kamar mandi, sampai pandangannya tertuju pada pintu balkon yang sedikit terbuka. Langkahnya ia tuntun ke arah sana.

"Va?" Ghazy dapat menemukan Ghava sedang duduk bersandar pada tembok, dengan isakan lirih yang menyapa telinga Ghazy. Melihat itu, Ghazy langsung menghampiri Ghava dan duduk bersila di hadapannya.

Ghava langsung mengusap air matanya, tak ingin membiarkan Ghazy melihat ia menangis. Lelaki itu menarik napas panjang, berusaha mengontrol diri.

"It's okay, Va. Nangis aja."

"Kamu ngapain ke sini? Aku lagi pengin sendiri, Zy."

Ghazy hanya tersenyum. Ia kemudian mengeluarkan kotak makan dan botol minum dari dalam totebag. Setelahnya, ia tumpahkan semua sisa isi totebag yang sebagian besar adalah makanan ringan. Di tengah-tengah mereka, kini sudah bertumpuk jajanan dan Ghazy akan menjadikannya teman untuk mengobrol dengan Ghava.

"Kata Ayah, kamu belum makan. Makan yuk, aku temenin." Ghazy membuka kotak makan yang sengaja ia isi dengan porsi banyak. Anak itu mengambil dua buah sendok, lantas menyerahkan salah satunya pada Ghava.

"Kamu aja, aku nggak laper." Ghava menatap kotak makan di depannya tanpa minat. Ia merasa kenyang tanpa alasan, padahal dari siang sama sekali belum makan.

"Jangan gitu, ini aku sengaja ambil banyakan. Ayo makan, nanti kamu kena maag loh." Ghazy memandang Ghava dengan tatapan memohon. Ia mulai menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut, berharap Ghava juga akan mengikutinya.

"Nggak mau."

"Sedih tuh juga butuh tenaga tau, Va. Ayo makan dulu biar nggak lemes-lemes amat. Aku nggak mau kamu sakit. Enak ini aseli, atau mau kusuapi? Ayo bayi, makan yuk makan, aakkk...." Ghazy sengaja menyodorkan sendok ke mulut Ghava, tapi kakaknya itu langsung melengos.

"Ck, apaan sih, Zy. Jangan kayak gitu, aku nggak suka!"

"Ya udah, cepetan makan! Susah amat dibilangin. Orang disuruh makan doang, bukan disuruh bikin candi." Ghazy mulai berpura-pura ketus. Kalau sudah begini, Ghava tak akan menolak. Ia tersenyum penuh kemenangan saat Ghava mulai menyendok nasi di kotak makan.

Ghava memakan makanan itu dengan setengah hati. Tak banyak pembicaraan selama mereka menghabiskan makanan. Ghava yang memang sedang tidak mood, sementara Ghazy juga memberi waktu pada Ghava untuk menata perasaannya.

Di tengah kegiatan makan, sesekali Ghazy melihat Ghava mengusap matanya. Ia tahu, Ghava pasti masih belum puas menangis. Sayangnya, Ghava memang bukan orang yang gampang menunjukkan isi hatinya di depan orang lain. Setiap sedih, Ghava akan memilih untuk sedih sendiri.

Beberapa menit kemudian, nasi dalam kotak makan yang Ghazy bawa sudah tak bersisa. Itu pun karena sesekali Ghazy mengomel agar Ghava menghabiskannya.

"Kamu keluar aja, Zy. Makasih udah bawain makan," ucap Ghava, berniat mengusir Ghazy secara halus.

How to Say "Goodbye"?Where stories live. Discover now