20-Tak Pantas Bahagia

575 95 46
                                    

Ghava telah berada di rumah sakit bersama ibu dan ayahnya. Tadi, ia dan Satya lebih dulu menunggu kedatangan Tari yang berangkat dari tempat kerjanya. Setelah wanita itu datang, barulah mereka menuju ruang rawat Arvan untuk meminta maaf atas kejadian di sekolah.

Ghava berjalan dengan langkah ragu. Ia sedikit di belakang orang tuanya yang masih saling diam dan bersikap dingin. Suasana yang ada meningkatkan rasa gugup di hati Ghava. Ia juga tengah sibuk merangkai kata, kiranya kalimat apa saja yang harus ia sampaikan pada temannya.

Menyadari jika langkah Ghava semakin memelan, Satya pun berhenti sesaat. Ia merangkul bahu anak itu dan memberikan pengertian untuk tidak terlalu memikirkan hal berat. "Jangan terlalu dipikirin tanggapan mereka, yang penting Ghava berani minta maaf. Kan ada Ayah sama Ibu juga."

Ghava mengangguk, lantas menarik napas panjang berkali-kali. Setelah berjalan menyusuri lorong rumah sakit, akhirnya mereka sampai di ruang rawat Arvan. Mereka masuk setelah dipersilakan oleh orang tua Arvan. Di dalam sana, ada Arvin juga yang seketika langsung memberikan tatapan sinis.

Satya menggandeng tangan Ghava. Tatapan pria itu terarah pada dua orang dewasa di depannya, mereka orang tua Arvan dan Arvin. Tidak ada basa-basi, tatapan dingin, senyum kecil yang tak ramah, tidak pula dipersilakan duduk, sehingga Satya menyimpulkan kehadiran ia dan keluarganya tak begitu diterima.

"Selamat malam, maaf apabila kedatangan kami menganggu. Kami ke sini, tidak lain untuk meminta maaf soal perlakuan tidak mengenakkan anak saya ke anak Bapak dan Ibu," ucap Satya, langsung pada inti. Nada bicaranya masih terdengar ramah, disertai senyuman hangat.

"Saya pastikan anak saya sudah menyadari kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi, Pak, Bu. Mohon untuk bisa dimaafkan." Ia menunduk kecil, begitupun dengan Ghava dan Tari.

"Ya, saya tau sih anak-anak emang suka bercanda. Tapi kalau keterlaluan juga bisa bikin celaka kayak gini," ucap ibu Arvan yang memang masih cukup memendam rasa kesal. "Sebagai orang tua, saya paham kok kalau Bapak dan Ibu juga tau gimana sedihnya lihat anak sakit. Arvan itu emang kondisinya beda, semua teman kelasnya ngerti, kok. Entah kenapa anak Bapak dan Ibu bisa sampai celakain dia kayak gini. Mungkin emang nggak mau tau tentang lingkungan sekitarnya."

"Ghava masih tergolong siswa baru, Bu, belum lama pindah. Jadi wajar aja kalau dia belum mengenal semua teman-temannya," ucap Tari yang tak terima mendengar anaknya mulai dipojokkan.

"Mau siswa lama atau siswa baru, tetep aja harus saling menghargai. Masa iya anak saya cuma pengin berbagi makanan malah diajak berantem. Tolong dididik baik-baik anaknya, Pak, Bu. Anak saya sampai collapse dan harus dirawat kayak gini, loh."

Ghava rasanya ingin sekali keluar dari tempat ini. Ia sedari tadi hanya bisa menunduk dengan jantung berdebar tak karuan. Bahkan mulutnya belum sampai mengucap maaf, tapi orang-orang dewasa di ruangan itu malah sibuk berdebat karena kesalahan yang sudah ia sadari penuh.

"Sekali lagi kami mohon maaf, Bu. Kami pasti akan lebih baik dalam mendidik anak kami, sehingga hal seperti ini tidak akan terulang. Untuk biaya perawatan Arvan, biar kami saja yang tanggung sebagai bentuk pertanggungjawaban." Satya berusaha mengakhiri semua ini sebelum istrinya meluap-luap. Ia paham betul jika sudah terpancing emosi, Tari akan mengucapkan apa pun tanpa menyaring kata-katanya.

"Nggak usah, kita bisa biayai anak kita sendiri. Kalian fokus saja ajarkan hal-hal baik ke anak kalian. Jangan sampai celakain anak orang lagi, apalagi jadi tukang bully."

"Maaf ya, Bu, saya dan suami saya nggak pernah ngajarin Ghava jadi orang jahat. Kejadian tadi itu pasti cuma salah paham. Anak saya nggak seburuk yang Ibu pikirkan." Tari jelas tak terima dengan ucapan ibu Arvan. Siapa dia berani mengomentari caranya mendidik Ghava?

How to Say "Goodbye"?Where stories live. Discover now