#25

61 14 53
                                    

"Bogoshipo." Pria dengan balutan pakaian khas prajurit itu segera memeluk gadis yang baru saja tiba. Dia tersenyum kemudian semakin mengeratkan pelukannya kala aroma manis mulai menyapa indera penciumannya.

Di bawah pohon rindang dekat kebun bunga selalu jadi pilihan mereka bertemu. Rasanya memang sulit karena harus menutupi hubungan mereka. Namun, mereka justru merasa tantangannya menarik. Bahkan sangat menarik.

"Kau tau? Aku selalu menunggu suratmu karena kau pergi ke tempat pemberontakan." Gadis itu memejamkan mata sembari menghirup aroma lembut parfum yang digunakan kekasihnya. "Aku takut kau tidak kembali."

"Aku sudah berjanji." Pria itu melepaskan pelukannya, menyentuh kedua bahu gadis dengan balutan hanbok merah muda itu kemudian tersenyum.

Gadis tersebut berdecih. Dia agak kesal karena sang kekasih sedikit terlambat meletakkan surat di pagarnya. Padahal dia tahu kekasihnya pulang kemarin.

"Kau akan merajuk padaku?" Pria itu tersenyum kemudian duduk di samping kemudian merogoh sakunya. "Aku membelinya saat dalam perjalanan. Aku menyukainya?"

Sebuah jepit dengan ukiran bunga matahari, dipersembahkan pria itu untuk sedikit meredakan kekesalan kekasihnya. Tentu saja bagi seorang wanita, itu cukup manis. Bahkan rasa marahnya dengan cepat lenyap.

"Baiklah, kali ini aku memaafkanmu. Bagaimana? Apa semuanya berjalan baik? Kau tidak terluka 'kan?"

"Sedikit," cicit pria itu sembari membuat gestur dengan telunjuk serta ibu jarinya. Segera dia berlari sebelum kekasihnya berhasil memukulinya. Sudah seperti sebuah tradisi, dia akan mulai dipukuli karena terluka.

"K-kenapa? Kau menangis?" Pria itu nampak panik kala kekasihnya menangis alih-alih memukulinya seperti biasa.

"Dasar bodoh. Bagaimana jika kau tiada?"

"Aniyo, aku tidak akan mati sebelum menikah denganmu. Aigo, aku sudah berjanji tidak akan membuatmu menangis." Pria itu memberikan pelukan juga sebuah kecupan manis di dahi kekasihnya. "Aku sangat mencintaimu. Jadi aku tidak akan pergi sebelum dirimu dan membuatmu bersedih. Aku akan selalu pulang dengan selamat agar bisa menikah denganmu."

***

Tzuyu membuka matanya, terdiam sejenak setelah mimpi manis menemani malamnya. Biasanya, dia hanya akan memimpikan pria yang sudah membunuh keluarganya. Namun, kali ini dia malah melihat momen manis dirinya dengan Jungkook. Dia yakin itu memang ingatannya yang terhapus, tapi dia belum menerima Jungkook memang benar-benar ada di sana.

"Kesalahan yang diyakini akan berubah jadi kebenaran dan kebenaran yang ditolak terus menerus akan berubah jadi sebuah kesalahan," gumam Tzuyu diakhiri helaan napas. "Tapi aku tidak yakin yang kupercayai adalah kebenarannya atau bukan. Apa hatiku mulai bergerak padanya sampai berharap itu adalah dirinya?"

Rasanya sangat menyesakkan. Apalagi hatinya sudah sangat goyah. Tujuannya seperti berubah. Bukan lagi membalaskan dendam, melainkan membantu Jungkook keluar dari masalahnya. Dia pikir dengan adanya bintang biduk dia akan lebih mudah membalaskan dendam karena makanannya bisa dengan mudah tercukupi. Ternyata dia salah.

"Ah sudahlah, untuk apa aku memikirkannya?" Tzuyu beranjak dari ranjangnya kemudian meregangkan otot-ototnya. Juga, dia melakukan meditasi agar suasana hatinya membaik. Namun, suara ponselnya sukses mengganggu ritual paginya yang tenang.

"Wae? Apa kau berencana menghubungiku tiap detik?"

"Kau baru bangun? Baiklah, akan kutunggu. Cepatlah mandi."

Tzuyu membulatkan mata kemudian membuka tirai kamarnya setelah mendengar ucapan pria itu. Dia pikir Jungkook hanya ingin menjahilinya. Ternyata tidak. Pria itu benar-benar ada di depan rumahnya, melambaikan tangan dengan balutan jas berwarna abu-abu.

Don't TouchWhere stories live. Discover now