Bab 8 - Good Girl

1.3K 155 10
                                    

KETIKA pertama kali menginjakkan kaki di Los Angeles, hanya ada satu hal yang ada di dalam pikirannya saat itu. Walaupun ia sudah melarikan diri terlalu jauh, tapi ia merasa bahwa hidupnya tetap tidak berarti, dan tidak ada yang perlu dilakukan. Ia hanya ingin memilih tempat yang indah untuk mengakhiri hidup. Hanya itu.

Tetapi siapa disangka, ia akan bertemu dengan seorang lelaki bernama Gavin Varren. Pada pertemuan pertama itu, Liasha ingin memperlihatkan sisi lain dari dirinya. Seorang gadis yang ramah, menyenangkan, dan pengertian. Seperti yang ia katakan sebelumnya, Liasha hanya ingin melakukan apa pun yang inginkan tanpa memikirkan bagaimana akhir dari kisahnya. Karena setidaknya ia bisa memiliki kenangan yang baik sebelum meninggalkan dunia yang kejam ini. Bukankah ia berhak untuk menyimpan kenangan yang indah?

Liasha berdiri di pembatas balkon kamar hotel milik Gavin. Menyaksikan bagaimana indahnya langit Los Angeles menjelang sore. Merasakan angin sore di musim panas yang menerpa rambutnya tanpa permisi.

Gadis itu tersentak begitu merasakan sesuatu melingkari perutnya, ia tersenyum tipis menyadari siapa orang yang dengan beraninya memeluk dan menyandarkan dagunya di bahu Liasha tanpa meminta izin.

"Kamu lagi apa?" bisik Gavin di telinganya.

"Ngeliat pemandangan dari atas sini. Liat deh lautan biru di ujung sana, indah banget, kan?" tanya Liasha menunjuk lautan tenang yang mententramkan jiwa. Apalagi suara samar-samar deburan ombak yang membuat dirimu enggan mengabaikannya.

"Iya, indah," lirih Gavin. Ia semakin mengeratkan pelukannya, dan beberapa kali mengecup leher Liasha hingga membuat gadis itu sedikit bergidik.

"Stop it," pinta Liasha dengan suara tawa kecil yang renyah di telinga Gavin.

"Gak mau," kata Gavin menolak untuk berhenti menciumi leher Liasha yang perlahan-lahan makin naik ke atas, dan menyentuh telinganya. Saat bibir Gavin mengecup ujung telinga Liasha, gadis itu langsung terkesiap, rasanya seperti darahmu langsung menyurut dengan kecepatan yang luar biasa. Denyutan di pangkal pahanya juga cukup mengkhawatirkan.

"Oh iya, kita belum nyoba barang belanjaan kita kemaren lho, Vin," kata Liasha mencoba menghentikan apa yang sedang Gavin lakukan padanya. Syukurlah, Gavin langsung berhenti dengan kegiatannya.

Gavin mendesah pelan. "Aku suka sama dress yang kamu beli kemaren. Gimana kalau besok kamu pakai itu pas makan malem? Kita gak perlu nunggu pulang ke Jakarta cuma buat pakai yang bagus, kan?" kata Gavin. Mendengar ucapan Gavin seketika mengubah ekspresi Liasha. Jakarta... ah, benar juga. Dalam dua hari masa liburannya akan selesai, dan ia harus kembali ke sana dengan senyum sumringah yang diharapkan kakaknya.

Haruskah ia pulang ke sana? Atau lebih baik dirinya...

"Aku punya kejutan buat kamu besok, pokoknya harus dipake dress itu," lanjut Gavin menghentikan apa yang sedang dipikirkan oleh Liasha.

"Kejutannya gak bisa sekarang?" tanya Liasha.

Gavin menggelengkan kepalanya. "Harus ada persiapan, dong. Pokoknya besok kamu harus dandan secantik mungkin buat Gavin seorang," katanya.

"Kenapa cuma buat Gavin seorang?"

"Karena Arabella itu pacar Gavin," sahut Gavin santai. Liasha mendengus kecil, ia mencoba melepaskan tangan Gavin di perutnya agar ia bisa berbalik menghadap laki-laki itu, namun justru Gavin tidak mau melepaskannya.

"Jangan balik ke belakang, kalau liat muka kamu aku jadi gak berdaya," ucapnya.

Liasha memekik tidak percaya. "Kok bisa begitu?"

"Gak tau tuh, tatapan mata kamu itu sangat maut, aku sampe meleleh dibuatnya," sahut Gavin santai.

"A great seducer," desis Liasha.

"Aku lagi gak gombal ya," kata Gavin menyangkalnya. "Keberadaan kamu itu bener-bener berharga, Bel. Setiap liat kamu, kayaknya aku bisa ngerelain apa pun di dunia ini cuma buat mandang muka kamu. Jadi jangan pergi ke tempat yang gak bisa aku liat ya, Bel."

Apakah Gavin bisa membaca apa yang ada dipikiran Liasha? Bagaimana mungkin kehampaan yang terjadi pada hidupnya selama bertahun-tahun, berubah indah hanya karena sebait kata yang tidak istimewa itu. Gavin benar-benar telah membuat Liasha terasa layak untuk hidup.

Tiba-tiba saja Liasha berbalik ke belakang, membuat Gavin sedikit terkesiap.

"Kan tadi aku bilang jangan balik ke—"

Sebelum Gavin menyelesaikan ucapannya, gadis itu sudah lebih dulu memeluknya dengan sangat erat. Ia bahkan menyandarkan kepalanya di bahu laki-laki itu.

"Kenapa? Kamu tersentuh sama kata-kata manis aku ya?" tanya Gavin dengan nada menggoda. Liasha menggelengkan kepala, tapi bibirnya tersenyum lebar.

Laki-laki itu mendesah kemudian membalas pelukan gadis itu sambil sesekali mencium keningnya. "Kalau gitu aku harus belajar dari pujangga-pujangga terkenal, supaya kamu kelepek-kelepek sama omongan aku sampe orang mikir kamu itu dipelet," gumamnya.

Liasha menarik kepalanya di belakang, matanya mengerjap-ngerjap menatap wajah Gavin. "Kelepek-kelepek?" tanyanya sambil menahan tawa. Gavin menganggukan kepalanya kemudian mencium bibir gadis di pelukannya tanpa permisi.

"Liat aja, kamu bakal kelepek-kelepek sama Gavin sampe gak bisa ngelariin diri ke mana-mana."

Mendengar perkataan narsis dari mulut Gavin, Liasha tersenyum lebar. "Gimana caranya?" tanya gadis itu menaikkan dagunya menantang.

"Ada caranya," sahut Gavin percaya diri.

"Apaaa?" rengek Liasha.

Gavin tampak berpikir sejenak. "Di sini ada dukun gak sih?" tanyanya polos.

Gadis itu melotot menatap Gavin lalu memukul bahu laki-laki itu dengan cukup kencang.

"Sakit, Sayang!" keluhnya.

"Sayang?" pekik Liasha kaget.

"Sayang..." ulang Gavin santai.

Liasha memutar bola matanya. "Tsk, apa coba."

"Lho, apa Sayang?"

"Apa sih sayang-sayang," cetus gadis itu seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Wajahnya memanas karena Gavin berkata seperti itu padanya.

"Kenapa cih cayang akooh marah-marah mulu? Nanti cantiknya ilang lho!" Gavin semakin suka menggoda Liasha karena respons gadis itu sangat lucu.

Liasha kembali memukul bahu Gavin sampai pria itu meringis kesakitan. "Bisa diem gak?" serunya pura-pura kesal.

"Bisa," sahut Gavin. "Tapi cium dulu," katanya sambil menunjuk bibirnya sendiri.

Liasha menghela napas, tapi ia menuruti permintaan laki-laki itu. Ia mengecup bibir Gavin sekilas.

"Udah bisa diem sekarang?" tanya Liasha lagi.

"Ini di pipi belum," kata Gavin menunjuk pipinya. Liasha kemudian mengecup pipi Gavin.

"Udah?"

Gavin mengangguk-ngangguk dengan senyum sumringah yang tersungging di bibirnya. "Cekalang peyuuuk akuuu," pintanya sementara kedua tangannya terentang lebar menunggu Liasha berhambur ke dalam pelukannya.

"Dasar," desis Liasha menggeleng-geleng melihat kelakuan Gavin yang menggelikan itu.

Mata Gavin sedikit menyipit karena tidak ada tanda-tanda kekasihnya ini mau memeluknya. "Ayo, dong! Masa gak mau peluk aku?" Pria itu mulai menunjukkan tanda-tanda akan merajuk.

Liasha berdecih lalu dengan enggan ia memeluk tubuh Gavin.

"Anak pinter," kata Gavin puas. Liasha menyembunyikan wajahnya di bahu laki-laki itu, ia pun mulai memejamkan matanya merasakan kehangatan dan kenyamanan dari pelukan ini. 


To Be Continued...

Summer We MetWhere stories live. Discover now