Bab 22 - Revenge

1K 158 17
                                    

GAVIN ragu ada orang lain yang lebih menyedihkan darinya. Meskipun sejak awal tahu akan seperti ini akhir ceritanya, ia tetap ingin mendengar dari mulut gadis itu sendiri. Namun meskipun sudah mendengarnya secara langsung dan mendapatkan penyelesaian, Gavin masih belum bisa menerima kenyataan.

Mereka berdua keluar dari kafe setelah 'berbicara'. Padahal awalnya Gavin merasa sangat marah dan siap melampiaskan semuanya pada Liasha hari ini. Tapi ada satu sisi di mana sebagai seorang pria, ia tidak mampu melakukannya. Karena harga diri, tentu saja.

"Terima kasih karena udah ngasih aku kesempatan buat ngejelasin, Vin. Aku—" kata-kata Liasha tertahan karena tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya kehilangan keseimbangan.

Sepertinya gadis itu akan terjatuh ke jalan jika Gavin tidak dengan sigap menahan sikutnya. "Kamu gak apa-apa?" tanyanya khawatir.

Gadis itu cepat-cepat menarik diri dan memaksakan seulas senyum kikuk. "I'm okay, thank you," gumamnya pelan.

Gavin merasa ada yang aneh dengan Liasha. Kalau dipikir-pikir gadis itu terlihat seperti kurang tidur. Apakah semalam Gavin terlalu kasar pada gadis itu sehingga membuatnya ketakutan?

"Tunggu di sini," pinta Gavin pada Liasha. Pria itu membalikkan badannya lalu kembali masuk ke dalam kafe. Liasha menatap punggung Gavin dengan dahi berkerut tidak mengerti. Kenapa pria itu memintanya menunggu?

Sekitar lima belas menit, pria itu keluar dari kafe sambil menenteng plastik putih transparan yang berisi dua potong roti dan satu botol air putih.

"Roti di sini enak, apalagi roti abonnya," katanya seraya menyerahkan bingkisan itu ke hadapan Liasha.

"O-oh aku nggak—"

"Kamu belum makan apa pun, kan? Jangan sampe pingsan di jalan dan ngerepotin orang lain. Anggap aja ini sebagai permintaan maaf aku karena udah bentak kamu semalem. Seharusnya aku gak perlu bersikap berlebihan kayak gitu," sela Gavin sebelum Liasha menyelesaikan ucapannya.

Liasha menatap bingkisan itu sejenak sebelum memutuskan untuk menerima pemberian dari Gavin. "Aku yang harusnya minta maaf," gumamnya. "Walaupun kedengeran nggak tau diri, tapi aku berharap kamu mau nutupin pertemuan kita di LA dari keluarga aku. Aku gak mau sampe mereka tau tentang pertemuan kita di LA, Vin," tambahnya penuh harap.

Gavin tersenyum sinis, tapi hatinya terluka mendengar kata-kata itu. Pada kenyataannya gadis itu hanya takut kakak dan ayahnya mengetahui pertemuan mereka, bukan karena sungguh-sungguh menyesal atas perbuatannya pada Gavin.

"Harus banget ya kamu bilang kayak gitu? Apa rasa takut jauh lebih penting daripada perasaan orang lain?" Gavin mendesis. "Aku kasih tau ya, gak ada manusia yang pantes diperlakukan seburuk ini dalam hidupnya. Gak ada yang bisa ngukur rasa sakit dan trauma yang dialami seseorang. Tolong... tolong sedikit aja kamu hargain perasaan aku sebagai korban di sini," tutur Gavin panjang lebar.

Sejujurnya ia berniat untuk tetap diam sampai mereka pergi meninggalkan kafe ini, namun ia benci mengetahui bahwa gadis itu merasa 'aman' setelah memberikan penjelasannya. Napas Gavin terasa sesak.

Liasha tidak berusaha membela diri, ia hanya terdiam begitu mendengarkan perkataan Gavin. Entah apa yang ada dipikiran gadis itu, Gavin sendiri tidak bisa menebaknya.

"Jangan ngerasa kamu selalu aman, karena aku bukan orang yang pemaaf," lirih Gavin dingin. Pria itu membalikkan badannya dan berjalan menuju mobil hitam yang terparkir di depan kafe. Meninggalkan Liasha yang masih berdiri kaku sambil menatap sendu kepergian laki-laki itu.

***

Sekarang apa lagi yang terjadi?

Elvano saling melirik dengan orangtua Gavin, bingung dengan keadaan senyap di meja makan rumah pria itu. Tadinya Elvano, Kaluna, dan ayahnya sudah sangat bersemangat datang ke rumah Gavin untuk makan malam sekaligus penasaran mengenai pertemuan Gavin dengan teman perempuan Kaluna.

Summer We MetWhere stories live. Discover now