Bab 12 - You Stress Me Out

1K 148 18
                                    

Jakarta, Indonesia


"GILE, kusut mulu muka lo perasaan."

Gavin menoleh ke asal suara. "Bisa nggak kalau ke ruangan gue ngetok pintu dulu?" tanyanya dengan nada suara yang tidak bersahabat.

Bukan Elvano Varren namanya kalau terpengaruh bentakan Gavin. Ia sudah terbiasa dimaki-maki pria itu, jadi teguran kecil semacam ini bukan masalah besar baginya.

Sudah lima bulan sejak kepulangannya dari Amerika, namun sifat senewen Gavin makin memburuk tiap harinya. Sebagai saudara sepupu yang sangat perhatian, Elvano tidak tahu apa yang terjadi pada pria itu, tapi sikap Gavin saat ini sangat berbeda dengan Gavin yang dulu. Setidaknya dulu pria itu masih mementingkan penampilannya meskipun suka marah-marah, sedangkan sekarang...

"Lo nggak ada niat cukuran gitu?" tanya Elvano sambil menunjuk kumis Gavin yang bertumbuh. Bukan apa-apa, hal itu makin membuat Gavin nampak dua kali lipat lebih berantakan. Apa lagi sekarang model rambutnya gondrong, wajahnya pucat setiap hari, dan memakai pakaian kerja sesuka hatinya. Kalau bukan sepupunya, Elvano mungkin akan mengatakan Gavin lebih mirip gembel daripada manager administrasi.

Elvano juga sering memergoki Gavin melamun, makin mirip dengan tipikal anak senja yang jarang mandi.

"Ada apa pagi-pagi ke ruangan gue?" tanya Gavin namun pandangannya fokus kepada tumpukan kertas yang berada di mejanya.

"Gue cuma mau mastiin aja lo masih idup apa kagak. Soalnya beberapa bulan ini lo lembur terus, dateng ke kantor juga pagi banget. Boleh dong gue khawatir sama keadaan lo?" kata Elvano melangkah masuk ke dalam ruangan meskipun pemilik ruangan belum mengizinkan ia masuk ke dalam ruangan.

"Lo udah liat kan gue baik-baik aja? Sekarang balik lagi sana ke ruangan lo," sahut Gavin nada suara yang tidak ramah.

Elvano mendesah pelan lalu duduk di sofa ruangan Gavin, tidak mengindahkan pengusiran terang-terangan yang dilakukan pria itu.

Pria yang jika tersenyum memperlihatkan gusinya itu tampak belum menyerah pada Gavin. "Besok malem ada acara makan-makan sekeluarga di rumah Papa gue. Lo gak ikut?" tanya Elvano.

"Nggak," jawab Gavin langsung.

"Kenapa?"

"Kenapa gue harus ikut?"

Elvano menggaruk keningnya yang tidak gatal. "Sebenernya ada apa sih sama lo?" Elvano kembali bertanya pada Gavin, kali ini setengah menuntut. Sebanyak ia berpikir, Elvano masih tidak mengerti awal mula terjadinya perubahan pada diri Gavin. Saudaranya itu lebih suka menutup diri, dan membenci semua orang tanpa alasan.

"Emangnya gue kenapa?" Kali ini Gavin menatap mata Elvano secara langsung.

"Kacau," balas Elvano langsung. "Kayak orang lagi patah hati," tambahnya lagi.

Gavin terbahak sinis, ia membasahi bibirnya yang kering lalu mengusap wajahnya kasar. Entah apa yang terjadi pada dirinya sendiri, ia pun tak mengerti. Rasanya tidak ada yang bisa membuat suasana hatinya membaik. Dadanya berat setiap kali ia mengambil napas, namun ia kesulitan mencari cara untuk mengobatinya. Sakit di dadanya tak kunjung menghilang.

"Jujur sama gue, apa yang terjadi selama lo di LA?" tanya Elvano ingin tahu. "Soalnya lo berubah banget setelah pulang liburan. Lo juga keliatan gelisah gak jelas," katanya menyipitkan mata mencoba menebak apa yang sedang dipikirkan Gavin.

"Lo nggak perlu tau," sahut Gavin acuh tak acuh.

Elvano memiringkan kepalanya tampak berpikir. "Jangan-jangan... lo ngehamilin cewek di sana dan nggak bertanggung jawab?" tebak Elvano asal-asalan.

Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang