Satu

9.1K 369 8
                                    

Padahal ada dua cerita yang belum tamat, tapi khilaf, malah publikasi cerita baru. Kayaknya ini gak terlalu banyak part-nya, 20an mungkin.

Selamat membaca ....

.
.
.

Bulan Oktober biasanya sudah mulai memasuki musim penghujan, jika curah hujan tinggi, bisa seharian penuh hujan tidak berhenti. Tapi sudah memasuki minggu ke-dua, hujan belum juga datang. Padahal aku ingin sekali melihat hujan.

Aku tidak pernah membayangkan hal-hal sederhana seperti ini di masa lalu. Misalnya, begitu membuka pintu akan melihat bagian belakang rumah orang lain, saat menoleh ke kiri atau kanan akan melihat jemuran tetangga, dan yang paling membuatku kaget adalah barang-barang banyak yang habis dalam waktu bersamaan. Ah, iya, belum lagi suara nyanyian meteran yang sering membuatku kesulitan tidur saat malam.

"Aruna."

Baru saja hendak menutup pintu, ada orang yang memanggil. Segera aku melangkah keluar, ternyata tetangga samping kiri rumahku. "Ada apa, Bu Desi?"

"Ini, kemarin kamu tanya lowongan kerja, kan? Ada dua lowongan, coba kamu lihat-lihat dulu, mau yang mana." Wanita berusia empat puluh tahun itu mengulurkan ponselnya padaku.

"Ini tempatnya Bu Desi kerja?"

"Iya, di florist, nanti kita bisa berangkat bareng. Lagipula ini bagian kasir, jadi kamu enggak terlalu capek. Kalau yang satunya agak jauh, Ibu gak tega kalau kamu ambil yang di sana."

"Nanti aku titip berkas lamarannya ke Bu Desi, ya?"

"Boleh, langsung ke rumah aja. Tapi kamu sudah bilang kalau mau kerja, kan?"

Suara sepeda motor mengalihkan perhatian kami, Bu Desi pamit dan langsung kembali ke rumahnya. Sedangkan aku masih berdiri di teras.

"Ngapain tadi?"

Jujur tidak, ya? "Oh, itu, minta tolong masukin voucher kuota. Dari tadi gak bisa."

"Masuk, udah sore."

Aku menurut. Entah sejak kapan aku mulai bisa berbohong seperti tadi. Padahal sebelum-sebelumnya aku nyaris tidak pernah berbohong.

Tapi dosa tidak ya?

Pasti dosa, lah! Apalagi jika yang dibohongi adalah suami, berkali-kali lipat dosanya.

"Gak usah kerja, Na."

Baru saja hendak duduk, aku langsung berdiri tegak. "Enggak kok."

"Aku gak bakalan ngasih izin ke kamu buat kerja, kamu di rumah aja."

"Tapi aku mau bantu kamu," sahutku cepat.

"Enggak perlu. Aku bisa sendiri." Dirga melepas jaketnya dan melangkah menuju kamar yang terletak di samping ruang tamu minimalis ini.

"Kamu keteteran."

Dia berhenti, lalu menoleh sebentar. "Udah resikonya."

"Aku tetap mau bantu."

Kali ini Dirga berbalik. "Oke, kalau kamu mau bantu. Aku yang berhenti kuliah dan kamu yang lanjut kuliah. Biar aku enggak keteteran seperti yang kamu bilang."

"Ga—"

Dirga langsung masuk kamar dan menutup pintunya.

Ternyata rasanya seperti ini ya. Aku tidak ingin egois dengan membiarkan Dirga kuliah dan bekerja di hari yang sama. Tugas kuliah sedang banyak-banyaknya, dia bekerja sejak sore sampai hampir tengah malam. Lalu paginya berangkat kuliah lagi. Hari Sabtu dan Minggu dia bekerja di tempat lain. Terus seperti itu selama satu bulan ini.

Teras RumahWhere stories live. Discover now