Dua Puluh Dua

2.5K 179 6
                                    

Wellcome Desember! 🌼

Aku ketemu Dirga versi nyata 🥺❤️ tapi akhir-akhir ini kita sering ribut. Makanya aku lama gak update

.
.
.
.

Masih ingat dengan Reno? Mantan pacarku yang pernah berantem dengan Dirga.

Nah, pagi ini aku kembali bertemu Reno.

Sekitar jam enam tadi aku berpamitan pada Dirga untuk membawa Arsya jalan-jalan pagi, dilanjut belanja. Lucunya, aku tiba-tiba bertemu dengan Reno. Bagian yang lucu ada di sini, aku yang baru selesai membayar bumbu dapur, saat berbalik malah sudah ada Reno di depanku.

"Buk."

Aku menunduk dan kembali menaikkan Arsya di sepedanya. Tidak ada niatan untuk menyapa, anggap saja dia kumbang badak. Tapi tidak dengan Arsya, dia terus menoleh ke belakang, menatap Reno dan menunjuk-nunjuk laki-laki itu.

Duh, nak, orang itu yang buat muka bapakmu jadi jelek.

"Ini anak kamu?"

Aku hanya melirik dan terus melangkah.

"Bagus juga ya anaknya Dirga."

Seketika langkahku terhenti. "Maksudnya apa ngomong kayak gitu?"

Reno mengendikkan bahunya. "Gak nyangka aja, anaknya Dirga bisa good looking. Secara kan dia banci. Cowok paling banci seangkatan."

Aku tau alasan Reno mengatakan itu. Secuek-cueknya Dirga, dia juga perasa. Saat acara wisuda dan Dirga berpisah dengan kakak tingkat yang dekat dengannya, dia sempat menangis. Entah menangis yang seperti apa, tapi dia mengeluarkan air mata. Entah hanya berkaca-kaca atau sampai mengalir di pipi.

Dan sejak itu, ada yang menyebut Dirga 'pinky boy', tapi Dirga tidak peduli. Dia tetap percaya diri. Tapi Dirga cowok banget, tuh, dimataku dan teman-temanku saat itu.

"Kok mau-maunya kamu sama Dirga?"

Kok bisa aku kemarin sempat mikirin manusia tolol macam dia?

"Cih, mau banget diajak mulai hidup dari nol. Mending sama aku, udah naik level. Palingan bentar lagi kalian cerai karena masalah ekonomi. Cari suami itu yang udah punya uang, bukan masih bocah ingusan. Anak manja pula."

"Mas, mau langsung pulang atau jalan-jalan lagi?" tanyaku pada Arsya. Tak peduli dengan ucapan Reno, masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Anak itu sepertinya tertarik dengan penjual ayam warna-warni, karena sejak tadi terus menatapnya. Kukira dia menatap Reno, ternyata menatap anak ayam lucu-lucu.

"Mau ayam? Belinya besok ya, sama Bapak."

Mendengar bapaknya disebut, Arsya langsung menatapku. "Apak?"

"Iya, besok ke sini sama Bapak." Pandanganku beralih pada Reno yang sedang tertawa. "Apa? Bapak? Norak banget, sih, kalian. Jaman sekarang masih panggil Bapak Ibu? Norak, kampungan banget," ucapnya.

Aku menatapnya sinis. "Gak apa-apa dong panggilannya norak, yang penting Arsya dapat kasih sayang dari bapaknya. Punya bapak yang bertanggung jawab, sayang sama anaknya, benar-benar bisa jadi pemimpin buat keluarganya, bisa didik anak dengan baik. Daripada kamu, bapakmu malah minggat karena gak betah sama kelakuan ibumu."

Sedetik setelahnya, aku tidak melihat apapun. Semuanya gelap. Hanya mendengar suara teriakan dan jeritan dari beberapa orang. Entah itu pedagang pasar atau pembeli. Yang pasti, Arsya langsung menangis dan aku merasa ada yang memeluk kakiku. Sepertinya itu Arsya.

Rahangku ngilu luar biasa.

"Dasar l*nt*, pantesan aja udah punya anak, murahan ternyata! Untung kita udah putus, cewek gak punya malu. Mending jilbabnya buat nutupin bokong, daripada kerjaannya cuma ngangkang!"

Teras RumahWo Geschichten leben. Entdecke jetzt