Dua Puluh Empat

4.5K 284 40
                                    

Ganti Point Of View yak, biar makin ngena. Biar kalian juga tau perasaannya Dirga. Masa Aruna terus? Wk-wk

.
.
.

Sudah empat hari Aruna menyendiri di teras samping, tangannya terus memeluk guling kumal milik Dirga yang dia ambil semalam di gudang. Matanya terus menatap kosong. Bahkan wajahnya tidak menampakkan raut apapun. Hari-hari dia habiskan dengan duduk tanpa bersuara, sesekali masuk ke kamar dan keluar dalam keadaan sembab. Pingsan? Sudah menjadi rutinitasnya akhir-akhir ini.

Rumah mulai sepi, tetangga dan kerabat sudah kembali beraktivitas seperti biasanya. Tapi sejak hari pemakaman, Dirga tak pernah lagi terlihat sosoknya.

Aruna terakhir melihatnya saat laki-laki itu menggendong Arsya menuju makam. Sedangkan orang-orang terakhir melihatnya saat prosesi pemakaman.

Hal inilah yang membuat Aruna merasa semakin patah. Dirga tiba-tiba menghilang dari hidupnya.

Ayah yang baru selesai memasak melangkah mendekati dan melepas apronnya. "Aruna, gerimis, ayo masuk."

"Nanti, masih mau cari angin."

"Ayah pasangin AC di kamar kamu, ya? Biar gak perlu cari-cari angin lagi kalau mau ngadem."

Aruna menggeleng dan semakin menyandarkan tubuhnya. "Arsya kehujanan, dia takut gak, Yah?"

"Aruna," panggil Ayah. Dia duduk di samping Aruna dan memeluk dari samping. "Arsya itu bukan di kuburan. Arsya bukan di dalam tanah bareng cacing. Tapi Arsya ada di surga, dia sekarang lagi main sama Ibu."

Air mata Aruna kembali mengalir untuk yang kesekian kalinya hari ini. "A-aku sejak kecil gak pernah ketemu Ibu, aku ketemunya cuma sebentar dan aku gak ingat Ibu kayak gimana. Sekarang aku baru ketemu Arsya sebentar, udah gak bisa ketemu lagi."

Ayah semakin mengeratkan pelukannya dan mengusap-usap kepala putrinya. "Jangan nangis lagi, Arsya sekarang udah bahagia di sana. Udah gak bakalan lagi ngerasain kejedot, jatuh atau kesandung. Arsya udah bareng-bareng sama anak lain, main di taman bareng Siti Hajar, bareng bidadari. Kamu jangan khawatir."

"Tapi aku kangen."

"Arsya selamanya di hati kita, Aruna. Ayah dulu juga gitu. Rasanya berat banget sewaktu ditinggal Ibu pergi. Ayah sendirian dan cuma kamu yang Ayah punya. Saudara Ibu laki-laki semua, enggak bisa dimintai tolong bantu rawat kamu. Lima tahun pertama memang jadi tahun-tahun terberat Ayah, tapi Ayah yakin, bahwa setelah ini pasti akan ada kebahagiaan. Nyatanya memang iya. Semakin kamu tumbuh, Ayah semakin bahagia. Sampai kamu sebesar ini, Ayah bahagia banget.

"Coba kalau dulu kerjanya Ayah cuma meratapi Ibu selama berhari-hari. Kamu pasti terlantar dan bahkan Ayah gak bisa bayanginnya. Aruna, ini memang berat. Banget. Tapi kamu harus yakin, hari-hari berat ini, pasti bakalan diganti dengan hari-hari bahagia sama Allah."

Tangis Aruna semakin tersedu saat tiba-tiba teringat sesuatu. "Arsya pergi. Dirga pergi, Yah."

"Enggak. Dirga enggak pergi."

"Tapi sekarang dia dimana? Dia marah sama aku? Dia kecewa sama aku karena gagal jadi Ibu? Kenapa Dirga pergi juga, Yah?"

Ayah tidak langsung menjawab, dia membiarkan rasa sedih Aruna dilampiaskan dalam tangisan. "Udah, sekarang kita masuk. Ayah barusan masak mie goreng pakai telur, kesukaanmu. Makan, ya?"

"Dirga pergi."

"Enggak, Dirga enggak pergi."

"Ayah."

"Justru kamu yang nyuruh Dirga pergi," jawab Ayah.

Tangisan Aruna semakin tergugu. Dia ingat, bahwa dirinya memang mendorong Dirga menjauh. Saat Arsya baru saja dibawa ke rumah duka, orang-orang memang berduka, tapi keduanya justru saling berteriak dan menyalahkan.

"Ini semua karena kamu, kalau aja hari itu Arsya enggak kamu bawa ke kampus, ini gak bakalan terjadi, Dirga!"

"Di sini cuma aku yang salah? Iya? Ngaca, Runa, selama ini kamu juga banyak salah. Bukan cuma kamu aja," balas Dirga tak kalah keras.

"Aku juga salah. Tapi awal mulanya karena kamu. Kamu bukan orang baik!"

"Memangnya kamu udah jadi orang baik? Kepalanya dipake, otaknya jangan cuma kayak udang." Setelah itu Dirga melangkah keluar kamar dan membanting pintunya dengan keras.

Usai menghabiskan makan sorenya, Aruna kembali masuk ke kamar Arsya. Berbaring di ranjang berbentuk mobil itu dan memeluk bantal yang biasa Arsya gunakan. Ini yang setiap malam Aruna lakukan, bahkan jika Ayah tidak memindahkannya ke kasur yang lebih lebar, mungkin badannya sudah pegal-pegal.

Aruna merindukan Arsya, tapi rasa rindunya pada Dirga jauh lebih besar. Notifikasi dari Dirga bahkan tidak dia dapatkan, padahal sejak tadi terus berharap akan ada pesan masuk atau panggilan telepon dari laki-laki itu.

"Kenapa akhirnya kita malah saling nyakitin, Ga?"

"Arsya udah pergi. Apa kamu bakalan berubah? Aku suka sama kamu yang kemarin-kemarin, Ga. Aku gak suka sama kamu yang sekarang. Cuekin aku, bodo amat sama aku. Aku kangen, Dirga."

Mendengar suara obrolan, Aruna bangkit dari berbaringnya dan melangkah tanpa suara. "Dirga?" gumamnya.

"Lebih baik pisah, Yah. Soalnya gak mungkin kalau mau bareng-bareng."

"Kamu yakin mau pisah? Udah kamu pikirin?" tanya Ayah.

"Iya. Mending pisah aja. Menurut Ayah gimana?"

"Itu terserah kamu, keputusan di tangan kamu. Tapi mending kamu pikirin dulu, Ayah masih ragu sama keputusanmu."

"Bagian mana yang bikin Ayah ragu? Kemarin aku udah obrolin ini sama Papi Mami, katanya lebih baik pisah aja."

"Pisah?" gumam Aruna. Semakin menempelkan pipinya pada pintu kamar yang dingin.

"Ini surat-suratnya, Yah."

"Loh? Ini seriusan? Kamu udah siapin semuanya?" Suara Ayah terdengar kaget.

"Udah, Yah. Titip kasih ke Runa, ya. Aku masih belum berani buat ketemu dia."

"Kenapa enggak kasih sendiri? Ayo, Ayah temani. Anaknya juga belum tidur."

"Enggak, Yah. Aku masih belum siap. Kalau gitu aku mau pamit pulang ke rumah Mas Gilang lagi. Kasihan dia udah nunggu di teras dari tadi. Salam buat Runa, sama titip ini. Aku tadi di jalan lihat penjual bakmi Jawa, Runa waktu itu kepingin ini tapi belum aku beliin."

"Beneran enggak mau ketemu? Ngintip sebentar aja."

"Besok aja, Yah. Aku pulang dulu ya, Ayah jaga kesehatan. Besok atau lusa aku ke sini lagi."

"Ayah harap, kamu masih mau buat pikirin ini."

Setelahnya tak terdengar suara apapun. Aruna terdiam di tempat, kepalanya seketika berisik oleh suara-suara yang mengganggu.

"Dirga mau pisah dari aku?"


.
.
.
.

🥺🧡 Arsya beneran udah pergi ....

Maaf banget, aku sebulan terakhir lebih sering nulis senandika gitu, makanya pas nulis kayak gini agak aneh jadinya. Biasanya puitis kok tiba-tiba balik nulis novel, malah gimana gitu 😭🙏🏼

Teras RumahWhere stories live. Discover now