Delapan

3.3K 243 9
                                    

Happy Sunday. Charger energi buat hari esokkk 🌞

.
.
.

Tempat kalian udah hujan? Aku rindu berat sama hujan, kalau tempat kalian hujan, tolong bilangin ya ke hujannya, suruh dia ke tempatku. 😔🖐🏽

.
.
.

"Ga, berasnya habis," ucapku pada si kepala keluarga yang sedang bersiul di ruang tamu.

"Kok cepet banget?"

Aku menghela napas. "Kan kamu kemarin kan cuma beli dua kilo, Ga. Beras sekilo cukup buat makan tiga kali sehari. Cabai juga habis, harganya lagi naik, kayak daging sapi."

"Hah? Masa?" tanya Dirga kaget. Wah, rakyat Indonesia yang tidak pernah nonton berita ya seperti ini. Setiap ke pasar, tidak pernah gitu Dirga mendengar obrolan para pedagang atau penjual lain yang mengeluhkan harga barang baik?

"Kemarin aku beli lima ribu, cuma dapat enam biji, kecil-kecil lagi."

Dirga menyugar rambutnya dan menyingkirkan laptop dari pangkuan. "Aku baru beres servis laptop, itu meteran juga udah empat hari nyanyi. Nanti sama besok ada kondangan. Celengan kamu masih, Na?"

"Sebentar." Aku lalu mengambil celengan berbentuk gajah yang ada di lemari. "Gak pernah diisi lagi, udah lama."

"Coba sini, aku buka." Lima menit kemudian Dirga menoleh, menatapku dengan tatapan lesu. "Cukup gak?"

Setelah kuhitung ternyata ada seratus ribu lebih. "Buat kondangan di dua tempat cukup kok, Ga. Isi amplopnya lima puluh ribu."

Dirga mengangguk. "Habis ini aku keluar buat beli beras sama bayar listrik. Cabainya libur dulu, deh."

"Kamu masih ada pegangan buat beli bensin, kan?" tanyaku. Sepertinya kemarin aku tidak memberi uang untuk membeli bensin, deh.

Dirga menggeleng ragu. "Atau mau pakai uang tabungan dulu, Ga?" usulku.

"Jangan, itu jangan pernah diganggu. Itu buat lahiran sama beli perlengkapan, jangan dipakai buat beli yang lain."

"Tapi uang di kamu beneran cukup, kan?"

"Iya, kamu tenang aja. Itu uangnya kamu simpan buat kondangan, sisa uang yang ada di aku dipakai buat belanja. Apalagi yang habis? Biar sekalian beli."

"Gak ada. Cuma itu, beras, cabai sama listrik. Eh, iya, sekalian beli garam, Ga."

Dirga mengangguk, dia mematikan laptop dan mengambil dompet. "Aku pergi dulu."

Dulu, jika uangku habis, pasti aku langsung minta uang pada Ayah. Jika lapar dan malas masak, pasti titip makanan pada Ayah. Tapi sekarang aku malu jika harus minta bantuan Ayah, bukan hanya itu, aku juga merasa tidak enak pada Dirga jika minta bantuan Ayah. Egonya sebagai laki-laki pasti terluka.

Dirga itu dulu setahuku sangat berkecukupan. Uang sakunya tidak main-main. Lalu dia bekerja paruh waktu agar tidak bosan saja, katanya agar dia tidak salah pergaulan, makanya menyibukkan diri dengan organisasi dan bekerja. Bahkan dari barang-barang miliknya, sudah bisa dilihat dengan jelas jika Dirga sejak lahir sudah dikipasi dengan uang.

Papi memiliki peternakan ayam dan katanya salah satu pemasok bahan baku di pabrik olahan ayam dan restoran. Sudah pasti kualitas ayamnya tidak main-main. Sedangkan Mami sibuk mengurus salon kucingnya.

Aku sendiri berasal dari keluarga yang berkecukupan. Cukup dalam hal materi dan kasih sayang. Kata orang, sih, aku kurang kasih sayang dari Ibu. Tapi aku tidak peduli, karena masih ada kasih sayang Ayah.

Teras RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang