Sebelas

3.2K 204 14
                                    

Muncul lagi notif dari aku, wk-wk

.
.
.

Selamat membaca 💐

.
.
.

Sejak Arsya mulai MPASI, aku mulai leluasa mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan sudah tidak ada rewang yang membantu mengurus rumah. Ayah yang jika libur sering menghabiskan waktu dengan Arsya, sangat membantu. Cukup ditinggali buah atau biskuit, aku segera meluncur untuk menemui bapaknya Arsya yang dua hari ini tidak pulang.

Dirga sedang pilek, sehingga dia tidak diizinkan pulang oleh Ayah. Alhasil, manusia itu sementara waktu tinggal di lantai dua distro. Astaga, aku berdosa tidak ya menyebut Dirga dengan kata 'manusia itu'. Soalnya Dirga kadang nyebelin.

"Dirga," panggilku. Persis seperti anak umur enam tahun yang mengajak temannya bermain.

"Iya?" Pintu ruangan di lantai dua terbuka, sosok Dirga muncul dengan hidung disumbat tisu. "Masuk, masuk."

"Ngapain hidungnya digituin?"

"Aku kan tadi nunduk lihatin laptop, eh, malah jadi basah laptopnya. Makanya aku sumbat. Kamu bawa apa, Na?" Dirga langsung mengambil tas yang kubawa dan mengeluarkan isinya.

"Gak kangen Arsya, Ga?" tanyaku.

Bahu Dirga langsung merosot. "Kangen banget malahan, Na. Aku kepingin telepon, tapi takut dia rewel lagi kayak kemarin. Ini pilek gak sembuh-sembuh, padahal kan udah minum obat," keluhnya.

"Makanya, jangan kebanyakan minum es."

"Gerah, tau."

Aku mengambil ponsel Dirga dan rebah di kasur, membiarkan laki-laki itu menghabiskan makan siangnya. "Ga."

"Hm."

"Aku lagi gak mau ribut, tapi ini kenapa di HP kamu ada dua kalkulator? Satu kalkulator bawaan HP dan yang satunya lagi aku yakin bukan kalkulator biasa."

Dirga sontak menoleh. Dia meletakkan asal kotak bekal tadi dan merangkak mendekat. "Na ...."

"Kalau dari awal cuma mau main-main, mending kamu dulu gak usah datang sewaktu akad," tudingku.

"Bukan gitu."

"Apa? Kamu nyadar gak, sih, kalau udah sebulan ini hubungan kita renggang? Kamu bahkan lebih sering main HP daripada ngobrol sama aku."

"Aruna, dengar dulu."

"Bullshit. Gak percaya sama rayuanmu lagi, Ga." Aku melempar ponsel tadi ke pemiliknya dan melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Entah kemana kakiku akan melangkah, yang penting aku ingin berjalan kaki sampai kakiku mati rasa. Tak peduli dengan manusia itu, mau mengejar atau tidak. Aku ingin menenangkan diri terlebih dahulu.

Sebulan ini kami memang renggang. Dirga jarang di rumah, sekalinya di rumah hanya bermain sebentar dengan Arsya, lalu sibuk bermain HP. Terus seperti itu siklusnya.

Kami tidak pernah mengobrol di teras seperti sebelum-sebelumnya. Dirga tidak pernah membawakan sesuatu saat dia pulang. Dirga juga tidak manja lagi.

Oh, bolehkah aku berpikiran jika dia memiliki pacar di luar sana?

Satu jam kemudian aku sampai rumah, setelah berjalan kaki di bawa terik matahari. Lebih baik seperti ini, daripada buru-buru pulang dan Arsya yang terkena imbas tidak stabilnya emosiku.

Sesampainya di rumah, Dirga sudah duduk di teras, dia langsung berdiri saat melihatku berjalan melintasi halaman. Arsya yang ada di pangkuannya hanya diam, lalu mengulurkan tangannya begitu aku mendekat. "Ibu lama ya, Mas? Yuk, sekarang kita bobok siang."

Teras RumahWhere stories live. Discover now