Tujuh

3.3K 247 4
                                    

Yang malam Minggunya rebahan, tos dulu kitaaa 🤪🖐🏽

.
.
.
.
.

"Maaf banget, aku ngaku salah. Jangan diemin aku lagi, ya?"

"Na, jangan nangis lagi."

"Udah boleh peluk belum?"

Aku masih terus mengusap air mata, sedangkan Dirga gelosoran di depanku. Hari makin sore dan air mataku tak mau berhenti keluar. Kami akhirnya pindah ke kamar, tempat kedua yang paling nyaman untuk bercerita setelah teras rumah.

"Ya? Maaf, ya?" Kepala Dirga semakin mendekat, lalu rebah di pahaku. "Aku kapok, gak mau kayak kemarin. Sejak kita bareng-bareng, aku udah ninggalin kehidupan lamaku, Na. Maaf ya, kalau aku gak pernah cerita. Karena begitu itu udah gak penting, karena aku udah ninggalin itu semua. Gak taunya kemarin aku kegoda buat kayak gitu lagi."

"Na, udahan nangisnya." Dirga terus membujuk, sampai akhirnya aku berhenti menangis karena haus. Langsung diberi minum olehnya.

"Udah, ya? Sekarang peluk dulu, aku janji, gak bakalan kayak dulu lagi. Kamu bisa pegang janji aku."

Aku mengangguk dan mengusap air mata.

"Orang hamil gak boleh kalau nangis kayak tadi, jangan nangis lagi, ya? Sekarang peluk dulu, aku udah kangen banget sama kamu." Dirga kemudian menarikku ke dalam pelukannya.

"Kamu dulu main cewek?" tanyaku. Menyusut ingus di hidung dan aku lap pada kaus Dirga.

"Enggak, aku dulu cuma lihat, gak pernah pegang-pegang. Soalnya itu udah bekas orang, gak tau siapa."

"Ga, aku sayang kamu." Aku semakin mengeratkan pelukan.

"Iya, aku tau. Kalau kamu gak sayang aku, pasti aku udah ditendang dari tadi pagi. Aku juga sayang kamu, sayang adek juga. Maaf ya, hari ini aku bikin kamu nangis, udah nakalin kamu."

Lagi-lagi aku mengangguk, melepas pelukan kami tepat saat azan Magrib berkumandang. "Kita salat Magrib dulu, habis itu aku kepingin peluk lagi."

"Beneran ya? Aku wudu dulu, kita salat bareng. Habis itu pelukan lagi." Dirga langsung berlari keluar kamar, hingga akhirnya aku menyusul saat mendengar laki-laki itu berteriak.

"Ga?"

Dirga sudah guling-guling di dekat pintu masuk dapur, memegangi kaki kirinya yang entah kenapa. Dirga bahkan sampai menangis dan wajahnya merah. "Heh, kamu kenapa?" tanyaku.

"Nabrak lemari televisi."

Aku melipat bibir ke dalam. Dosa, sih, sebenarnya, tapi aku gak tahan. "Mampus, salah sendiri udah bikin aku nangis. Hukuman dari Allah itu, tuh."

"Huaa, kukunya lepas, Na. Sakittt."

Malamnya, Dirga tidak bisa tidur. Ranjang terus saja bergerak, seperti ada gempa. Tak jarang pula Dirga merintih, mengeluh dan kadang mendusel di ketiakku.

"Sakit banget, dari ujung kelingking sampai paha nyeri semua. Nyut-nyutan." Nah, kan, merengek lagi.

"Mau dikipasin? Kan kata dokternya besok pagi udah gak sakit."

"Tapi ini gak hilang-hilang sakitnya, padahal udah minum obat, Na. Masih cenut-cenut."

"Kamu kayak anak bayi deh, Ga. Rewel karena gak bisa tidur. Aku harus apa biar sakitnya hilang?" tanyaku. Ayolah, setelah menangis tadi rasanya lelah sekali. Aku sangat ingin tidur.

"Gak tau ...." Lagi-lagi Dirga memperlihatkan wajah memelasnya.

Aku menarik kepala Dirga dan mendekapnya sangat erat di dada. "Dah, tidur. Kalau gak bobok, nanti digigit banteng."

Teras RumahWhere stories live. Discover now