Sembilan

3.2K 244 0
                                    

Akhirnya bisa login Wattpad lagi, maaf ya, kemarin gak update. Padahal lagi pengin rajin, tapi malah ada gangguan :(

.

.

.

Selamat membaca, gaissssss 🪐

.
.

Pagi-pagi sekali Papi berpamitan, katanya harus melanjutkan perjalanan. Beliau berniat singgah satu malam, sebelum pergi ke Malang. Selama di rumah ini, Papi juga terlihat biasa saja. Tidak semenakutkan saat pertemuan pertama.

Hanya saja, ada satu hal yang masih mengganjal, kenapa Papi memaksa Dirga untuk membunuh anaknya? Dan kenapa Papi menghalangi Dirga saat akan hadir di hari pernikahan kami?

Semuanya belum terjawab. Hari ini aku sangat ingin bertanya akan hal itu pada Dirga. Semoga dia tau jawabannya dan bisa menjawab pertanyaan yang sudah berbulan-bulan bersarang di kepalaku.

"Ga," panggilku. Dirga yang baru selesai mandi langsung mendekat. Segera aku mengambil sapu dan menldongkan padanya. "Kakinya keset dulu, Dirga. Kamu badannya masih basah kuyup, langsung ditutup handuk, habis itu keluar. Kan jadi basah dimana-mana."

Dirga mengambil lap dan berjongkok, menghilangkan jejak tetesan air yang dibawanya. Nyaris setiap hari begitu. Memangnya dia lupa kalau istrinya sedang hamil? Kan bisa jatuh.

"Ga, bahaya, loh, kalau aku kepleset."

"Iya, gak diulangin lagi. Ada apa?"

"Papi ternyata baik ya, Ga," ucapku. Basa-basi dulu, sebelum masuk ke inti pembicaraan, mumpung masih pagi, Dirga juga tidak buru-buru berangkat kuliah.

"Aslinya memang baik banget, kok, Na. Orangnya juga sabar."

"Tapi kita udah ngecewain orang sebaik Papi, pasti hatinya sakit banget."

"Papi berubah, Na, sejak kita buat ulah." Dirga menghela napas dan duduk bersila di lantai. "Aku ngerasa ... jauh. Padahal, sewaktu aku pulang kemarin, Mami kelihatan biasa aja. Sedangkan Papi enggak. Sejak kita ketemu bareng-bareng itu, semua kenakalanku kebongkar. Papi semakin kecewa. Ini semua salahku. Makanya aku senang banget sewaktu Papi nginap di sini. Papi sebenarnya waktu itu kebawa emosi, dia takut nanti kita bakalan kayak ...."

"Kayak apa?" tanyaku penasaran.

Sayangnya Dirga justru menggeleng. "Udah, gak usah dibahas lagi."

"Ga ...."

"Besok lagi ceritanya." Dirga kemudian berdiri, mengambil pakaian yang sudah kusiapkan dan memakainya.

"Ga, ayo kasih tau."

Dirga menghela napasnya. "Kakaknya Papi juga sama kayak kita, Na. Persis banget. Hubungan mereka awalnya baik-baik aja, tapi akhirnya keluarga itu bubar, ambyar. Papi enggak mau kita kayak gitu."

"Tapi dengan kita batal nikah, semuanya bakalan jauh dari kata baik-baik aja, Ga."

"Papi kebawa emosi, Na. Aku paham banget sama apa yang Papi rasain waktu itu. Tapi bukan berarti aku memaklumi sikap Papi, enggak, Na. Sepulang dari rumah kamu, aku sama Papi ribut. Papi marahin aku habis-habisan. Papi enggak mau aku di masa depan bakalan nyakitin kamu atau anak kita, makanya Papi lebih milih buat nyakitin kamu saat itu, dengan batalin pernikahan kita."

"Tapi cara Papi salah."

"Iya, aku tau. Itu salah banget. Makanya Papi menyesal udah lakuin itu, Papi menyesal udah bersikap kayak gitu. Semalam aku samperin Papi yang siap-siap pergi, dia ceritain semuanya ke aku. Dia menyesal, apalagi kamu kelihatan banget kalau takut sama dia. Luka Papi di masa lalu belum pulih, tapi sama aku dibuat makin parah. Aku justru makin menyesal, aku belum bisa bahagiain dia, tapi justru malah nyakitin."

Dirga menjeda ucapannya, seperti sedang menahan sesuatu. "Akhirnya Papi bilang gini ke aku, 'Bang, jangan buat Papi kecewa lagi. Papi benar-benar minta maaf atas sikap Papi waktu itu, Papi menyesal. Satu pesan Papi, sampai kapanpun, jangan pernah sakiti kami. Aruna, anak-anakmu, Papi, Mami, dan mertuamu'. Meskipun Papi kelihatan beda, tapi aku yakin dia sayang sama kamu sebagai menantunya."

Dirga akhirnya menangis. Buru-buru aku mengusap punggungnya. "Sebenarnya Papi masih mau nginap di sini, tapi karena ngelihat kamu yang takut dan enggak nyaman, akhirnya Papi lebih milih buat pulang, Papi enggak mau kamu kenapa-kenapa. Kamu mau maafin semua kesalahan Papi, kan?"

"Ga ...."

"Sikap buruk Papi waktu itu sepenuhnya bukan salah Papi, itu salahku, aku yang jadi penyebabnya. Maafin aku juga, Na."

Dan semua sesak yang selama ini kurasakan, perlahan menghilang. Mereka—Papi dan Mami sebenarnya baik, hanya saja mereka tertusuk duri. Mereka membiarkan rasa sakit berubah menjadi auman.

Aku pernah mendengar dongeng dari Ayah, ada seekor gajah baik hati, yang kemudian berubah jahat karena belalainya terluka akibat jeratan pemburu. Gajah tadi mengekspresikan rasa sakitnya dengan amukan, banyak tumbuhan yang dia rusak, binatang kecil yang dia dinjak. Dan semua itu berakhir setelah luka pada belalainya sembuh.

"Ga, besok kita ke rumah Mami Papi, ya? Pasti mereka kangen banget sama kamu, sekecewa apapun mereka. Kita berdua belum minta maaf dari hati ke hati, semoga, setelah ini semuanya bakalan baik-baik aja. Kepercayaan orang tua bisa kembali, meskipun enggak sepenuhnya sama."

.
.
....
.
.

Dugaanku benar. Papi dan Mami sangat merindukan Dirga. Ternyata Dirga bohong, saat dia pulang kemarin, dia hanya mendapati adiknya saja di rumah. Orang tuanya sedang pergi. Dirga bohong padaku, padahal dia sebenarnya belum bertemu orang tuanya.

Papi itu baikkkk sekali. Menerimaku dengan baik, meskipun aku pernah membuatnya sakit dan aku juga pernah takut Papi berbuat yang tidak-tidak pada anakku.

"Abang, ini kok di bukunya Runa ada banyak catatannya. Kamu kemana aja selama ini?"

Aku yang sedang duduk di samping Mami sontak menoleh. Lalu melirik pada Dirga yang hanya diam.

"Bang?"

"Maaf, Mi. Tapi yang halaman selanjutnya udah bagus kok."

"Anaknya harus diperhatiin banget ya, Bang. Percuma kalau Runa maksimal, tapi kamu masih kurang-kurang. Runa perutnya udah makin gede, jangan dibuat capek. Tutup dulu."

Kali ini Dirga mendongak. "Apanya yang ditutup?"

Mami berdecak dan menutup buku ibu hamil di tangannya. "Ya pokoknya tutup. Tutup itu jangan datang. Libur dulu."

"Oh, itu ... iya, Mi."

"Asam folatnya rajin, kan, Runa?" Tatapan Mami beralih padaku, langsung aku mengangguk.

"Periksa yang besok kan di sini, sekalian USG 5D. Biar kita tau, Dirga versi sachet gantengnya kayak gimana."

"Mami, kok anakku dibilang sachetan, sih?" seru Dirga tak terima. Dia berpindah duduk di sampingku dan memeluk perutku posesif. "Gak boleh, tau, ini  bukan versi Abang sachet."

Dirga lalu menepuk-nepuk perutku dan menciumnya. "Ganteng-ganteng kok dibilang sachetan, padahal kan kamu itu Dirga versi travel size."

Allahuakbar.

"Kamu, mah, sama aja. Minggir sana." Dengan sangat tega, aku mendorong bahu Dirga agar menjauh.

.
.

31 Oktober 2023

Makasih banyakkkk

Double update aja lah yak :v

Teras RumahWhere stories live. Discover now