Empat

3.9K 281 10
                                    

Haiiiii, seperti biasa, lagi rajin-rajinnya update.

.
.
.
.
.

Selamat membaca ....

.
.
.
.

Istri sakit, suami kelimpungan. Suami sakit, istri keteteran. Bagaimana aku tidak keteteran jika Dirga menjadi super cerewet. Baru ditinggal dua menit, langsung panggil-panggil.

Tapi tadi aku langsung pergi ke warung setelah membukakan jendela untuknya. Bodo amat kalau nanti sesampainya di rumah Dirga sedang gelosoran di teras sambil nangis, atau sampai nangis guling-guling karena tidak menemukanku.

Begitu sampai rumah, Dirga ternyata menunggu di teras. Wajahnya pucat dan keningnya ditambal plester penurun panas. Outfit hari ini juga berbeda dari biasanya, jaket tebal, celana training dan topi kupluk rajut. Mirip orang mau mendaki di gunung Everest ini, mah.

"Lama," protesnya.

"Warungnya ramai tadi, antri pas mau bayar."

Dirga masuk lebih dulu. "Tadi Ayah datang, bawa rantang. Aku bingung harus ngobrolin apa, Ayah cuma diam."

"Terus sekarang Ayah mana?"

"Pulang." Laki-laki itu mengintip isi tas belanja yang kubawa, lalu mendesah kecewa. "Gak beli jajan?"

Loh, kok malah kaya anak kecil?

Aku geleng-geleng kepala dan membawa belanjaan ke dapur, ada mangkuk dan rantang di atas meja. Sepertinya dari Ayah tadi, yang Dirga maksud. "Itu apa yang di mangkuk?"

"Gak tau, ramuan kali."

Aku mencibir, iya, ramuan biar kamu gak nyebelin lagi. Beneran, hari ini Dirga bikin kesal. "Bubur kacang hijau, mau dimakan sekarang atau nanti?"

"Gak suka kacang."

Ah, iya, aku lupa. Mana mungkin manusia yang satu ini mau makan kacang. Entah itu kacang tanah, kacang panjang, kacang mete, kacang almond, kacang hijau, kacang kedelai—kecuali sudah berubah bentuk menjadi tahu, kacang polong, kacang kapri, kacang merah, juga kacang-kacangan yang lain.

Alasannya satu, "Rasanya lucu, aku gak suka."

Lucu darimananya, woy? Justru enak.

"Ya udah, kuahnya aja."

Dirga melirik sekilas. "Gak."

"Aku aja yang makan," ucapku. Duduk di kursi dan menyendok bubur.

"Na, pengin buah." Baru juga aku makan bubur satu suapan, Purnomo.

"Mau buah apa?"

"Itu apa?" Dirga menunjuk rantang dan aku segera membukanya. Ternyata potongan buah. "Melon."

"Gak suka."

Aku membuka bagian rantang yang lain dan menemukan buah lagi, kuambil salah satu isinya. "Jeruk."

Kontan bibir pucat Dirga cemberut. "Sama aja."

Selain kacang-kacangan, Dirga juga tidak suka buah yang baunya semerbak. Melon, jeruk, durian, pokoknya buah yang baunya bisa memenuhi satu ruangan.

"Aku beliin semangka di depan ya? Atau mau pir?"

Dirga masih belum menjawab, aku mengambil dompet dan laki-laki itu malah meletakkan kepalanya di meja. Katanya tadi lemes, gak bisa jalan, kayak mleyot. "Mau buah apa?"

"Buah yang enak apa?" tanyanya. Lah, si pemakan segala kok ditanyai yang enak mana. Pasti aku gak bisa jawab, lah.

"Semua buah rasanya enak, Dirga."

Teras RumahWhere stories live. Discover now