Dua puluh

2.6K 154 1
                                    

Ketemu lagi sama Maz Dirga, kemarin libur, wk-wk. Mau selang-seling aja, lah, updatenya sama cerita sebelah.

.
.
.

Tak terasa, tepat setahun yang lalu aku melahirkan Arsya ke dunia. Jam setengah satu dini hari membuat Ayah heboh karena terus menangis karena sakit perut yang kurasakan begitu luar biasa. Dirga? Dia sempat duduk dan bermain ponsel, aku marah saat itu, karena Dirga terlihat santai.

"Sabar, dong. Ini aku lagi buka artikel. Baca ulang apa aja yang perlu dilakuin, soalnya aku nge-blank. Sebentar ya."

Dan Dirga menjadi satu-satunya orang yang tenang di rumah ini. Tapi sesampainya di rumah bersalin, ketenangan Dirga hilang diterbangkan angin. Oleh Ayah aku tidak diperbolehkan menangis lagi, karena takut kelelahan. Alhasil, Dirga yang menangis.

"Jangan mati dulu ya, Na."

Ingin rasanya aku mencakar wajah memelas yang lagi-lagi Dirga perlihatkan.

Jika ingat momen itu, aku pasti juga akan ingat masa-masa dimana aku dan Dirga tersesat karena bisikan setan. Kos Dirga itu setannya banyak. Apalagi di kamarnya, jadi jalur alternatif lalulintas para setan. Melihat kami yang ada di sana, setan akhirnya berhenti. Melancarkan tugasnya di sana.

Tapi, aku merasa jika setan kos dan setan kampus sebelumnya sudah bekerjasama.

"Heh, seleb!"

Aku yang baru saja selesai mengikat tali sepatu langsung menoleh, Dirga berlari mendekat dengan beberapa kertas di tangannya. "LPJ dah dikirim belum? Mba Heni udah nanyain terus."

"Udah, kok," jawabku.

"Mba Heni, mah, enak. Cuma pas pelantikan sama LPJ an doang kerjanya. Pas setahun kemarin cuma kita berdua yang wara-wiri sampai meriang. Gini kalau ikut BEM yang baru saja dibentuk, yang perlu diurus ada banyak," keluh Dirga. Ikut duduk di sampingku. Padahal aku berjongkok di tengah taman. Akhirnya aku ikut duduk, karena sepertinya durasi sesi curhat Dirga masih panjang.

"Ya mau gimana lagi, Ga. Yang penting dapat sertifikat buat syarat kelulusan nanti."

"Tapi dia nyebelin banget, loh. Kita waktu itu baru semester tiga, woy. Udah dikasih beban segede gunung Merbabu. Dia yang udah semester lima malah ongkang-ongkang kaki. Eh, sekarang gak mau bantu ngerjain LPJ karena sibuk TA. Tai, memang."

"Untung bulan Juni kita udah selesai. Gak kebayang kalau kita harus sampai tahun ajaran baru. Bukannya libur, malah lembur. Lega banget rasanya," lanjut Dirga.

"Termasuk singkat ya, periode kita. Oktober sampai Juni. Juli besok udah pelantikan pengurus baru, awal bulan lagi."

"Biarin aja, gak usah dipikir. Eh, kamu ada tugas gak? Nugas di kosku, yuk. Aku belum ngerjain tugas artikel."

"Aku udah gak ada tugas lagi," ucapku bangga. Dirga langsung cemberut sok imut.

"Kamu semester lima besok mau ikut organisasi lagi gak?"

Aku mengendikkan bahu. "Fokus kuliah kayaknya, soalnya semester besok ada magang lagi."

"Magang berapa kali, sih? Kok sering banget. Aku ini, loh, magang besok semester enam." Kini giliran Dirga yang menyombongkan diri.

Aku mendecakkan lidah dan berdiri. "Jadi ditemani ngerjain tugas gak?"

"Jadi. Ayo." Dirga ikut berdiri kemudian merangkul bahuku.

Selama perjalanan menuju tempat parkir, Dirga beberapa kali disapa dan menyapa orang-orang yang kami lewati. Ya meskipun agak cuek, tapi sebisa mungkin dia bersikap ramah. Meskipun akhirnya mengeluh.

Teras RumahWhere stories live. Discover now