Dua Puluh Satu

2.4K 159 4
                                    

Ketemu lagiiii. Lama banget ya nunggunyaa?

Kangen kalian berapa persen, nih? Kalau aku 100 persennn

.
.
.

Sabar dan sayangnya Dirga kira-kira ada batasnya tidak ya?

Kalau tidak ada Arsya, aku tidak mungkin hidup bersama dengan Dirga. Lalu, kalau Arsya pergi, aku gimana?

Apa Dirga juga ikut pergi?

Aku menatap Dirga yang sedang menimang Arsya, dua hari ini anak itu demam. Padahal hari ini adalah ulang tahunnya, terpaksa acara kumpul-kumpul ditunda sampai Arsya benar-benar sehat. Meskipun acaranya diundur, Mami dan Papi tetap datang sesuai rencana.

Mami menginap di rumah sepupu Dirga, sedangkan Papi menginap di sini. Sejak tadi pula, Papi menemani Dirga yang sedang berada di ruang tengah. Entah sedang mengobrol apa dua orang itu, suaranya seperti bisik-bisik. Mungkin karena tidak ingin menganggu Arsya yang sepertinya sudah tidur. Sedangkan aku menatap mereka dari sofa ruang tamu.

Sejak Arsya sakit, Dirga tidak pernah hilang dari pandangan anak itu. Mandi secepat kilat, makan di depan Arsya, bahkan bekerja dari rumah. Arsya selalu rewel jika Dirga tidak terlihat oleh matanya. Padahal Dirga sedang sujud di dekat kasur, Arsya sampai meraung-raung. Akhirnya, setiap Dirga salat, Arsya selalu menatapnya. Kadang malah berbaring di sajadah.

Aku? Arsya mencariku jika dia ingin menyusu, selebihnya dia melakukan semua hal dengan Dirga.

Dirga menatap padaku, lalu Papi beranjak dari duduknya dan mendekat padaku. "Papi mau beli jajan di luar, kamu mau makan apa? Kata Dirga, kamu suka satai ayam, mau Papi bungkusin?"

"Enggak usah, Pi."

"Heh, beneran, loh. Kamu kepingin makan apa? Biar Papi cariin."

Dirga menyusul mendekat dan mengusap kepalaku dengan tangan kirinya. "Bubur kacang hijau, ya? Atau mau beli martabak?"

"Apa aja."

Aku mendengar Papi menghela napas. "Kalau nanti Papi beli apa aja, beli makanan banyak, jangan diomelin tapi ya."

"Iya."

Setelah itu Papi pergi, ternyata keluar berdua dengan Ayah. Sedangkan Dirga masuk kamar, membaringkan Arsya di sana. "Semoga aja gak muntah lagi."

"Tadi waktu aku pergi beli buah, Arsya muntah lagi, Ga?"

Dirga mengangguk dan mengusap-usap lengan Arsya. "Diare juga. Aku takut Arsya kena muntaber, Na. Kata Papi, kalau besok masih muntah, kita ke dokter lagi."

"Apa aku ada salah ya?" ucapku. Mengingat-ingat apa saja yang aku berikan pada Arsya selama semingguan ini.

"Jangan salahin diri sendiri. Ini salah kita semua, kita yang teledor."

"Mumpung Arsya udah tidur, aku mau eek dulu. Panggil aja kalau Arsya kebangun." Dirga langsung melangkah cepat meninggalkan kamar.

Bisa ya, eeknya diatur mau keluar kapan. Sesuai request pemilik organ pencernaan.

Aku menatap Arsya dan membenarkan selimutnya. Dua hari ini aku tidak melihat wajah ceria Arsya, kalau tidak menangis atau merengek, hanya diam. Mengoceh saja tidak. "Mas, cepat sembuh ya."

Kedua mata Arsya terbuka, lalu bibir kecilnya bergerak. "Mau mimi?"

"Buk."

"Ada apa? Mau digendong sama Ibu? Sini, Ibu gendong."

Baru kali ini Arsya anteng saat aku menggendongnya. "Tapi di sini aja ya, di luar dingin."

Setelah aku usap-usap punggungnya, Arsya tidur lagi. Sekitar pukul sepuluh Ayah dan Papi pulang, membawa berbagai macam makanan. Dirga mengambil kesempatan itu untuk mengisi perut, selagi anaknya tidur. Sedangkan aku membawa seporsi bakmi ke teras samping, memakannya di sana.

Teras RumahWhere stories live. Discover now