Sembilan belas

2.4K 157 5
                                    

Maz Dirga gemesin bangetttttt, di dunia nyata ada gak ya?

.
.
.
.

"Dirga, minggir sana. Kalau kepingin bangun, ya bangun aja. Gak usah ganggu." Aku mendorong Dirga untuk yang kesekian kalinya.

Ya Allah, sekali-kali habis Subuhan aku tidur lagi. Besok enggak lagi.

Merasa jika Dirga akan kembali mengganggu, aku langsung menutupi kepala dengan selimut. "Aku mau tidur lagi."

Suara tawa Dirga seketika terdengar. "Udah siang, bangun."

"Mau tidur bentar, jangan ganggu!"

Tiba-tiba selimut terbuka, wajah tengil Dirga langsung terpampang di depan mata. "Anaknya bentar lagi bangun, loh, mandi sana."

"Awas!"

"Bau acem, bau acem." Dirga dengan sangat tega mendekatkan ketiaknya padaku. Tidak bau asem sebenarnya, hanya saja risih. Masa iya aku menciumi ketiak orang lain?

"Dirga, aku kepingin tidur lagi. Sebentaaaaar aja."

"Ya udah, aku selesai mandi nanti bakalan bangunin kamu lagi." Dirga kemudian turun dari kasur dan keluar dari kamar.

Setelah Dirga meninggalkan kamar, bukannya tidur aku malah main HP. Awalnya melihat postingan orang-orang, lama-kelamaan malah scroll reels.

"Buk!"

Aku terkesiap saat Arsya merangkak di atas tubuhnya yang berbalut selimut. Dirga yang berdiri di depan lemari hanya bersiul, aku meliriknya sinis. "Turun dulu, Mas, Ibu gak pakai baju soalnya."

"Nyen."

Akhirnya Arsya duduk di pangkuanku, menikmati sarapan part pertama. "Ga, kamu masa nasi sana."

"Udah tadi, sebelum mandi aku masak nasi dulu. Lauknya mau beli aja atau masak?"

"Oh, udah siang ya?" gumamku. Sudah jam setengah tujuh ternyata. "Beli aja, Ga. Uang belanja ada di toples yang biasanya. Sekalian beliin semangka buat camilan Arsya siang nanti."

"Dirga, ini pengamanannya enggak masuk ke tempat sampah. Ambil, masukin yang bener!" teriak Ayah.

"Maaf, Yah!" Dirga langsung lari terbirit-birit.

"Dibungkus yang bener pakai tisu. Kalau perlu isinya dibuang dulu. Biar isinya gak berceceran di tempat sampah."

Aku tak mendengarkan jawaban Dirga, karena suara Ayah sangat menggelegar kalau sedang mengomel. Arsya saja sampai berhenti menyusu karena saking herannya mendengar suara Ayah yang tumben-tumbenan sampai kamar.

"Dicek lagi, semuanya udah masuk ke tempat sampah atau belum. Jangan-jangan malah ada yang ketinggalan di kamar."

Seketika aku celingukan.

"Ya udah kalau cuma itu, besok jangan diulangi lagi. Ayah itu orang asing, loh, di keluarga kecil kalian."

Tak lama kemudian Dirga kembali ke kamar, bersiul santai seperti tadi. Seolah-olah aku tidak tau jika dia baru saja mendapat omelan. "Aku beli sayur dulu, kamu mau lauk apa?"

"Apa aja."

Dirga mengangguk dan menyisir rambutnya. "Mas, ikut Bapak beli lauk, yuk. Sekalian beli jajan."

"Jangan lupa beli buah," peringatku saat Dirga keluar bersama Arsya.

Aku berpapasan dengan Ayah saat akan masuk ke kamar mandi, keningnya yang sudah keriput itu berkerut-kerut. "Maaf, bukannya Ayah mau ikut campur. Tapi Ayah cuma mau mastiin."

Teras RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang