Lima belas

2.6K 188 28
                                    

Pukul dua dini hari, aku terbangun karena bermimpi jatuh. Buru-buru aku menyalakan lampu yang entah sejak kapan mati. Sayangnya tak kunjung ada cahaya. Sepertinya mati lampu. Tapi di luar tidak hujan. Segera aku menyalakan senter dan berlari ke kamar Arsya. Anak itu sudah duduk dan memanggil-manggil orang tuanya.

"Ibu di sini."

Arsya langsung merengek dan minta digendong, aku kemudian membawanya ke kamar. "Mimi tapi bobok lagi ya?"

Sayangnya Arsya menolak, dia malah ingin bermain. Akhirnya aku menyalakan senter hingga seluruh ruangan kamar anakku menjadi terang benderang. Jika Ayah sedang di rumah, pasti aku langsung membawa Arsya ke kamarnya. Ayah sedang menghadiri seminar di luar kota, sekalian reuni katanya.

Saat lampu menyala, aku menyadari jika tidak ada Dirga di kamar. Baru saat akan mencari, pintu kamar terbuka. Dirga muncul dengan keadaan tak biasa. Tapi buru-buru dia menutup pintu dan menghilang dari pandanganku.

"Ga!" Aku langsung melompat turun dari kasur. Tapi karena Arsya merengek tak mau ditinggal, aku membawanya.

Saat kuhampiri, Dirga sedang duduk di kursi ruang makan dengan baskom di depannya. "Kamu kenapa, Ga?" tanyaku.

"Sini, Mas, sama Bapak aja. Biar Ibu ambilin obat luka." Dirga meraih Arsya lalu memangkunya. "Tolong ambilin obat, Na."

Setelah mengambil kotak obat, aku langsung mengobati luka di wajah dan tangan Dirga, juga mengompres memarnya dengan es batu. Wajahnya lebam dan memar, bagian bawah matanya lecet, bibirnya berdarah. Belum lagi luka di kening dan dagu yang darahnya mulai mengering. "Kamu berantem sama siapa?" tanyaku, berharap Dirga menjawabnya.

"Tapi tanganmu luka, kamu jatuh dari motor atau gimana?" tanyaku lagi.

Dirga tetap tenang dengan luka dan darah dimana-mana, Arsya juga hanya diam kebingungan. Mungkin anak itu bingung dengan apa yang terjadi pada bapaknya. "Nanti aja ngobrolnya. Biar Arsya tidur dulu," ucap Dirga setelah aku desak berkali-kali.

Sepuluh menit kemudian, Arsya kembali tidur. Sempat menangis karena wajah bapaknya masih tetap jelek meskipun sudah diobati. Arsya tak terima karena luka di wajah Dirga tidak langsung hilang padahal sudah aku tempeli kapas. Bahkan Arsya sempat teriak-teriak yang entah apa maksudnya, tapi kata Dirga maksudnya adalah buang.

Muka bapaknya dibuang gitu? Atau bapaknya yang dibuang?

Usai menidurkan Arsya, aku menatap Dirga yang sedang berganti pakaian. Perut dan pinggangnya biru, sedangkan bahunya merah. "Kenapa, Ga?"

Dirga mendesis saat aku menyentuh luka di bahunya. "Tolong kompresin, Na."

Langsung saja aku mengambil kotak obat dan kompresan, bahu kiri Dirga juga terluka. "Kamu kecelakaan, Ga? Tapi kapan kamu perginya? Kita tadi tidur sebelahan, bahkan kamu tadi peluk aku, cium-cium bahuku."

"Pergi jam sebelas tadi," jawab Dirga. Tangannya sibuk mengompres pinggang. "Aku nyamperin Mas Reno."

"Ga? Ngapain?" tanyaku kaget.

"Sebulanan ini dia chat kamu di nomor lama, aku terus yang buka," ucapnya.

Seketika aku melotot. Nomor ponsel lamaku memang dipakai Dirga, karena nomor laki-laki itu sekarang digunakan sebagai nomor admin toko. Jadi, Dirga pasti tau semua pesan yang masuk di nomor itu.

"Aku gak tau kalau—aku bahkan gak pernah lagi ketemu dia, Ga."

"Iya, aku tau. Kamu sekarang gak pernah keluar rumah, meskipun cuma beli garam. Aku sengaja buat kamu tetap di rumah, karena aku tau kalau ada orang yang nungguin kamu di luar."

"Memangnya Reno ngomong apa? Maaf, Ga, aku beneran gak tau."

Dirga tak langsung menjawab, dia bercermin terlebih dahulu. "Di chat itu, Reno jelek-jelekin aku, ngomong yang enggak-enggak tentang aku. Mungkin dia ngiranya itu masih nomormu. Tapi dia gak tau kalau selama ini yang baca chat dia itu orang yang dia jelek-jelekin. Lucu banget, kan?" Dirga terkekeh dan kembali duduk.

Teras RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang