Dua Puluh Lima

5.3K 326 33
                                    

Hai, udah Januari ternyata, dan aku baru muncul.

Maaf ya.

.
.

Ayah membuka pintu dan menyembulkan kepalanya yang terbalut topi putih. "Masih muda kok budeg, dari tadi Ayah panggil kamu, Aruna."

"Eh?" Aruna yang sedang membereskan isi lemari sontak menoleh. "Ada apa, Yah?"

"Keluar sana, ada yang nyariin."

"Siapa?"

"Lihat aja."

Aruna menggeleng dan kembali memasukkan baju-baju kecil ke dalam sebuah koper besar. "Mau beresin bajunya Arsya aja."

"Gak boleh gitu. Sana ketemu dulu, orangnya di teras depan. Ayah mau mancing sebentar sama temen."

Sepeninggal Ayah, Aruna menutup lemari dan melangkah keluar kamar. Sunyi dan sepi. Sejak acara tahlil tujuh hari kemarin, sudah tidak ada lagi barang-barang Arsya di setiap sudut rumah ini. Mami yang membereskan, dibantu beberapa saudara Dirga.

"Dirga?"

Dirga menoleh, kemudian berdiri. "Eh, hai. Kirain gak mau ketemu." Laki-laki itu mengusap belakang lehernya dan kembali duduk dengan kaku.

"Kirain siapa," gumam Aruna, dia menggeser kursi dan mendudukinya. "Udah nunggu lama?"

"Lumayan, tadi juga ngobrol dulu sama Ayah." Dirga kemudian mengeluarkan isi kantung plastik yang dibawanya. "Udang kejunya Gacoan, kesukaan kamu. Nih."

"Aku belum makan dari kemarin," ucap Aruna mengadu.

Dirga menoleh, lalu mengangguk. "Udah minum belum?"

"Tadi pagi pas bangun tidur, sampai sekarang belum lagi."

Dirga kemudian beranjak masuk dan kembali dengan membawa piring dan segelas air mineral. "Eh, Na, sejak kapan Ayah punya ayam?"

"Baru tadi pagi." Aruna langsung menggeser duduknya dan membuka mulut saat Dirga mengambil sumpit.

Aruna lupa, jika semalaman penuh dia overthinking memikirkan nasib hubungan mereka kedepannya. Yang ingin Aruna lakukan saat ini hanyalah bermanja-manja dengan laki-lakinya.

"Kata Ayah, ASI-nya kemarin merembes. Sakit gak?"

Aruna menggeleng dengan mulut penuh dengan mie. "Waktu kamu ke sini, kenapa gak temui aku?"

"Yang kapan? Aku tiap hari ke sini, tapi kamu gak mau ketemu," tanya Dirga balik. Keningnya berkerut dalam, boro-boro bertemu, saat hendak didekati saja Aruna melengos atau mengurung diri di kamar.

"Waktu itu."

Dirga menggaruk kepalanya. "Aku sama siapa? Jam berapa ke sininya? Aku sering ke sini soalnya, tiap hari malahan. Tapi kamunya gak ada dimana-mana. Kapan, hm?"

"Gak tau." Aruna mengendikkan bahu dan memundurkan kursi.

"Masa gak ingat?"

"Yang katamu kita mau pisah itu."

Mulut Dirga menganga lebar. "Kapan?!" serunya kaget.

"Itu, malam-malam, kamu ke sini. Ketemu Ayah, katanya kamu mau pisah, terus titip suratnya ke Ayah. Kamu ke sini sama Mas Gilang."

Dirga menipiskan bibir, "Tadi katanya lupa," gumamnya. Dia kemudian kembali menyuapi Aruna agar tidak menyela omongannya. "Bukan ngajak kamu pisah atau cerai, bukan. Beneran."

"Tweyus?"

"Kita yang pisah rumah sama Ayah. Aku sama kamu pindah dari rumah ini, kita tinggal di lantai dua ruko. Aku titip surat itu, sebenarnya surat cinta. Aku kira kamu masih belum mau ngomong dan ketemu sama aku. Daripada kamu emosi atau nangis-nangis pas ketemu aku, mending aku tulis dan suratnya aku titip ke Ayah."

Teras RumahWhere stories live. Discover now