Delapan belas

2.4K 164 18
                                    

Makasih udah baca sejauh ini 🧡

.
.
.


Arsya biasanya bangun Subuh, lalu dibawa kesana-kemari oleh bapaknya. Setelah agak siangan baru anak itu diberikan padaku. Tapi hari ini Arsya sejak bangun maunya digendong olehku. Alhasil hari ini aku kesiangan. Ayah tidak sarapan, rumah belum disapu, beres-beres juga belum. Dirga sedang mencuci pakaian, mungkin sekarang sudah menjemur.

"Ibu nyapu sebentar ya, Mas?" tanyaku. Membenarkan Arsya yang melorot. Kamu berat banget, Nak.

Arsya merengek saat akan aku dudukkan di sofa. Lalu merengek lagi saat aku memegang sapu. Dia maunya aku duduk manis memangkunya atau menggendongnya kesana-kemari tanpa melakukan apapun.

"Ga, lanjut nyapu ya," ucapku pada Dirga yang sedang di dapur.

"Oh, oke. Tapi aku masak nasi dulu."

"Mas, Ibu boleh mimi gak? Haus banget." Akhirnya aku bisa menyentuh benda, itupun hanya gelas. Saat akan membuka kulkas untuk melihat bahan makanan, Arsya kembali merengek.

"Kita bobok lagi, ya?" tawarku. Lalu membawa Arsya ke kamar. Aku tidak tau apa penyebab anakku bad mood. Dirga yang biasanya menjadi manusia yang paling mengerti Arsya, mendadak bodoh karena tidak paham.

Arsya anteng saat aku membaringkannya di kasur, bahkan langsung guling-guling dengan ceria. Sebenarnya Ibu juga kepingin rebahan, Sya, tapi Bapakmu gak bisa kalau hari ini ngurus rumah. Bapakmu harus cari uang, biar kamu bisa minum susu.

Aku melihat Dirga menyapu dan menyedot debu, setelah itu dia mondar-mandir dengan alat pel di tangannya.

Baru sekitar pukul sembilan, laki-laki itu masuk ke kamar usai mandi. "Makan sana, aku udah masakin buncis sama telur gulung."

Aku menatap Arsya yang sedang asyik mengisi perut. "Gak mau lepas, dari tadi nempel terus."

"Heh, kembung kamu nanti kalau minum susu terus." Dirga mencolek lengan anaknya, tapi diabaikan. "Itu, loh, susunya sampai habis. Biar Ibu maem dulu, Mas, nanti susunya penuh lagi. Udah kecil itu susunya Ibu."

Aku merotasi bola mata. Bapak Dirgantara ini mulutnya, luar biasa ajaib. "Udah mau berangkat?"

"Iya, tapi aku belum sempat sapu halaman, kalau kamar mandi udah aku sikat. Habis kamu sarapan aku berangkat, terus sorenya ke kampus, ada urusan sama anak UKM."

"Urusan apa?" tanyaku penasaran.

Tiba-tiba Dirga bertepuk tangan sampai handuknya melorot. "Mereka mau pesan kaus seragam buat kegiatan. Bayangin, di kampus kita ada 6 UKM, belum lagi ormawa, himpunan mahasiswa, kalau mereka pesan kaus atau PDL di aku kan untung banyak. Sekalian minta bantuan mereka buat promosi. Habis itu kalau tabungan kuliahmu udah kumpul banyak, Arsya udah gede, kamu bisa kuliah lagi. Habis itu kita wujudin satu-persatu impian kita."

Aku menatap Dirga yang terus melanjutkan ceritanya dengan menggebu. Dirga itu laki-laki baik, bertanggung jawab dan pekerja keras.

Tapi ... kalau Ayah udah gak ada, Dirga masih kayak gini gak ya?

"Mas, mau ikut Bapak gak?" Dirga yang sudah selesai berpakaian menghampiri Arsya yang kekenyangan.

"Memangnya gak repot bawa-bawa Arsya?"

"Enggak, dong. Justru mau aku pamerin. Dirga versi travel size lucu banget." Dirga langsung mengangkat Arsya dan memakaikannya topi. "Ikut ya?"

Arsya tidak menolak ataupun protes, justru malah bersandar nyaman dan memejamkan matanya. "Ngantuk dia, Ga, di rumah aja," ucapku.

Teras RumahWhere stories live. Discover now