Enam belas

2.6K 186 19
                                    

Selamat membaca 💐

.
.
.

Dirga sudah kembali bekerja meskipun luka belum sepenuhnya sembuh. Arsya juga sudah mulai menerima kondisi wajah bapaknya yang menjadi cukup menyeramkan karena bagian luka yang mengering berubah menjadi menghitam.

Motor Dirga sudah tidak bisa dipakai lagi. Kalaupun ingin dipakai, harus servis besar-besaran dan itu juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Akhirnya, motor yang dulu Ayah belikan untukku, dipakai oleh Dirga. Dirga yang biasanya berangkat pagi dan pulang sore, kini pulang saat siang untuk makan dan pulang lagi setelah Isya.

Arsya tak jarang memaksa untuk menunggu Dirga di teras rumah. Apalagi jika mendengar suara azan, anak itu langsung membuang mainannya dan berjalan menuju pintu dengan langkah tertatih. "Tunggu di dalam aja, jangan depan pintu, kena pintu lagi nanti."

Kemarin malam, Arsya yang tidak aku izinkan keluar akhirnya berdiri tepat di belakang pintu. Alhasil, saat Dirga membukanya dari luar, benda yang terbuat dari kayu itu menabrak Arsya. Langsung anak itu menangis dan tak lama setelah itu, kening mulusnya berubah benjol.

Tapi Arsya merengek, akhirnya aku membuka pintu depan. Mengawasi Arsya yang aku biarkan duduk di teras. Arsya tidak pernah mau ditemani saat sedang menunggu Dirga, pasti aku didorong agar masuk rumah.

Arsya duduk gelosoran di lantai, menatap gerbang yang masih terbuka. Begitu melihat sorot lampu motor, langsung dia berdiri. "Apak!"

Anak itu menjerit girang saat Dirga membunyikan klakson. Aku hanya diam di dekat pintu, menatap keduanya. Arsya yang tak sabar ingin segera digendong dan Dirga yang mencuci tangan sembari tersenyum lebar.

"Nunggunya lama ya?"

Dua orang itu berpelukan sebentar, lalu Dirga melepas jaketnya dan diseret masuk oleh Arsya.

"Tumben jam delapan baru pulang, Ga," ucapku.

"Tadi makan di luar dulu."

"Oh, gitu," sahutku pendek. Aku kemudian menyusul Arsya masuk, sedangkan Dirga menutup gerbang terlebih dahulu.

Berarti masakanku sore ini tidak ada yang makan. Ayah sudah makan malam di kampus, Arsya masih kenyang karena mencamil kentang goreng. Sedangkan aku sendiri malas makan jika sendirian dan sudah kenyang saat mencicipi tadi. Sebelum menaruh jaket Dirga di gantungan, aku lebih dulu menuju ruang makan dan memasukkan semua piring di meja ke lemari penyimpanan.

"Mas Arsya, jaketnya Bapak jangan diinjak gitu," tegurku.

Arsya kemudian memberikan jaket tadi padaku dan dirinya menyusul Dirga ke kamar. Siang tadi Arsya tidak tidur, jadi aku juga tidak memiliki kesempatan untuk ikut tidur. Akhirnya sekarang aku sudah ngantuk berat.

"Arsya udah ngantuk," ucap Dirga. Lalu mengambil handuk dan masuk kamar mandi.

Saat kuhampiri, Arsya sedang guling-guling di kasur sembari merengek. "Yang bener boboknya. Mau tidur di sini atau kamar?"

Akhirnya aku membawa Arsya ke kamarnya. Baru menyusu sebentar, langsung pulas. Ingin rasanya aku tidur, tapi mainan Arsya belum dibereskan.

Terkadang, pukul setengah sembilan rumah ini sudah sepi, karena penghuninya memilih untuk tidur lebih awal. Seperti saat ini, aku keluar dari kamar Arsya jam sembilan, tapi rumah ini sudah sepi dan beberapa lampunya sudah dimatikan.

Dirga sedang bermain game saat aku masuk kamar. Tadi sudah tidur sebentar di kamar Arsya, sekarang malah semakin mengantuk. "Ga, geseran."

Dirga langsung berguling ke kiri dan kembali fokus dengan ponselnya.

Teras RumahWhere stories live. Discover now