Tujuh belas

2.5K 164 18
                                    

Seumuran Dirga itu lagi lucu-lucunya, random, dan meshom 😌

.
.
.

"Ga, lihat Arsya gak?"

Dirga yang sedang menonton di ponselnya langsung mendongak. "Ini Arsya," tunjuknya pada punggung.

"Itu boneka kambing, bukan anakmu."

"Hah?" Dirga menarik benda yang menindih punggungnya dan langsung duduk. "Tadi di sini."

"Kamu malah asyik sendiri," gerutuku. Aku langsung celingukan, mencari-cari keberadaan Dirga sachet. Dirga kiloan bukannya mengajak bermain malah sibuk menonton kartun.

"Bwa!"

Nyaris saja aku terjengkang karena saking kagetnya. Arsya merangkak keluar dari kolong tempat tidur, tertawa-tawa riang.

"Loh, Mas? Kok bisa sampai sana?" Dirga ikut-ikutan merangkak, lalu keduanya balapan mengelilingi kamar.

"Mas Arsya, maem dulu, yuk," ajakku. Anak itu berubah duduk, lalu bertepuk tangan. "Emimi."

"Maem dulu, baru mimi."

"Buk, imi."

"No, Mas. Kita maem dulu, kamu dari pagi belum maem nasi."

Arsya merengek saat aku menggendongnya keluar kamar. Tangannya berusaha menggapai sang bapak yang berjalan di belakangku. Begitu juga saat sampai di ruang makan, dia berusaha untuk meminta tolong pada Ayah yang sedang mengambil nasi.

"Kamu itu mau diajak maem, Mas," ucap Dirga. "Bukannya mau dikasih ke kucing." Menyodorkan paha ayam pada anaknya dan langsung diterima.

"Loh, Ga," protesku. Arsya langsung anteng dan menggigiti paha itu dengan giginya yang baru tumbuh beberapa.

"Sama nasi, ya? Sini, duduk sendiri."

"Terlalu keras kayaknya, coba dikasih yang ini." Ayah meletakkan secuil ayam di mangkuk Arsya, oleh anak itu hanya diabaikan.

"Mas, ganti aja, ya? Maem yang ini. Itu keras soalnya," bujukku. Arsya menatapku sebentar, lalu meletakkan paha ayam tadi dan menggantinya dengan perkedel kentang yang ukurannya muat digenggam tangan mungilnya.

Dirga dan Ayah makan malam terlebih dahulu, sembari mengobrol kesana-kemari, sedangkan aku duduk di lantai mengawasi Arsya yang sedang senang-senangnya menggunakan tangan mungilnya.

"Kapan Arsya mau dikasih adik, Ga?"

Aku langsung menoleh pada Ayah. Lalu beralih menatap Dirga yang sedang menggigiti tulang. "Kalau Arsya udah umur empat tahun, aku sama Runa program adiknya."

"Bagus itu, jangan terlalu dekat jaraknya. Kalian menikah masih terlalu muda, kalian cari pengalaman dulu. Takutnya malah meledak ego kalian suatu saat nanti. Bagi Ayah, ngasih makan ego boleh, asalkan enggak lupa sama kewajiban."

"Runa kok gak dikasih adik, Yah?" Giliran Dirga yang bertanya pada Ayah.

"Dapat Aruna aja udah bersyukur banget, Ga. Ibunya Aruna ada masalah sama rahimnya. Punya Aruna itu harus nunggu sembilan tahun. Kamu sendiri, kenapa saudaranya banyak?" Ayah menaikkan alisnya.

Dirga seketika tertawa. "Biar rumahnya rame. Soalnya, kakaknya Papi—Budhe Sha juga punya anak banyak, tapi tinggalnya pisah-pisah. Katanya dulu Papi sengaja, mau nyindir kakaknya. Pengin kakaknya kepanasan karena keluarga kecilnya harmonis, enggak kayak keluarga Budhe Sha, berantakan."

"Seriusan itu alasannya?" tanyaku menaikkan alis tinggi-tinggi.

Dirga menggeleng dan kembali tertawa. "Enggak, itu jawaban Papi sewaktu umurku sepuluh tahun. Alasan Papi punya banyak anak, ya karena gak sengaja aja."

Teras RumahWhere stories live. Discover now