BAB 15

32 3 0
                                    

"Raden Ayu, sudah cukup. Biar saya saja yang mengaduk rendang ini. Raden Ayu harus bersiap-siap untuk latihan nari," ucap Surti yang tengah mengaduk rendang lima puluh kilogram itu di dalam kuali yang begitu besar. Serra disampingnya memegang sutil kayu yang besarnya hampir sama dengan wanita itu. Serra terlihat berkeringat dan tidak memeprdulikan Surti yang sedari tadi terus mengomel bahwa ini hukumannya bukan Serra.

"Diam, Surti. Karena aku kamu dihukum, dan aku juga akan bertanggung jawab. Aku bukan wanita yang tidak bertanggung jawab. Aku tidak akan biarkan nenek tua itu menindas orang lemah. Dia sama seperti Eyang ternyata, suka berbuat seenak hatinya." Serra berdecih lalu mengaduk dengan sekuat tenaga sampai suara teriakannya di dengar Surti.

"Raden Ayu sudah cukup berusaha. Saya bisa mengaduknya sendiri, Raden Ayu. Saya hanya perlu Raden Ayu bersiap dan pergi ke Pendopo Agung sekarang," mohon Surti bersungguh-sungguh kepada majikannya.

"Tidak," jawab Serra kekeuh.

"Saya mohon, Raden Ayu. Jika tidak saya mungkin akan diberikan hukuman yang lebih berat," lirih Surti.

Serra berhenti mengaduk rendang itu dan dengan pasrah membersihkan tangannya lalu berpamitan dengan Surti. "Baiklah Surti, aku tidak akan merepotkan kamu lagi. Jika nenek tua itu berulah lagi, beritahu aku sesegera mungkin, ya?"

Surti mengangguk gembira. "Baik, Raden Ayu. Akan saya sampaikan, tetapi jangan panggil beliau dengan sebutan itu," ringis Surti yang membuat Serra tertawa. "Aku tidak salah, dia memang tua."

Serra bergegas kembali ke kamarnya dan ia bertemu dengan Sekar Mirah Manuka yang baru saja akan ke Pendopo Agung. "Raden Ayu?" panggilnya ikut berjalan disamping Serra.

"Ya?"

Sekar Mirah tersenyum dan bertanya dengan lembut, "Kamu ingin ke Pendopo juga?"

Serra menggeleng. "Tidak."

Sekar Mirah tersenyum menahan tawanya. Pasalnya kini diwajah Serra tercetak kehitaman bekas bara api yang hampir memenuhi seluruh pipinya. "Raden Ayu habis darimana?"

"Dapur istana."

Sekar Mirah tersenyum lagi. "Kalau begitu saya tunggu di Pendopo Agung, Raden Ayu?"

"Ya," jawab Serra dan belok ke kiri untuk kembali ke kamarnya sementara Sekar Mirah terus berjalan lurus ke depan melewati koridor istana yang besar.

Sekar Mirah sampai di Pendopo Agung dan bertemu dengan ibu mertuanya. "Ibu," sapanya menunduk sopan dan mengambil posisi.

"Mana menantuku cucuku?"

Sekar Mirah lagi-lagi tersenyum dengan lembut yang membuat pipinya bulat seperti apel. "Sedang bersiap, Bu."

"Lama sekali, dia sudah terlambat berapa menit?" omel Roosita uang membuat Sekar Mirah terus tersenyum. "Sebentar lagi juga dia sampai, Bu."

Serra hadir di sana tepat setelah musik pertama selesai. Ia memakai kebaya yang lebih layak daripada yang sebelumnya. Hanya rambutnya yang terlihat berantakan dengan beberapa noda kehitaman yang masih membekas di area lehernya. Serra berada dibarisan paling belakang mencoba menutup diri dan mengikuti langkah para penari lainnya. Roosita Raharyo, duduk diatas bantalan sinden menikmati ketukan dan iringan pemusik disana sampai dia terbangun dari kenikmatannya karena mendengar kegaduhan di belakang.

"Ada apa disana?" tanyanya yang membuat para penari terdiam begitupun dengan iringan musik yang mulai mengecil.

Semua mata penari itu kini jatuh kepada Serra yang terjatuh bersama dengan kedua penari lain yang menyebabkan jarik batiknya sobek sepaha. Serra tidak peduli dan mengaduh, menyalahkan penari di kirinya yang salah mengambil langkah sehingga langkah kecil Serra karena jarik ketat itu terhambat sehingga ia pun bingung dan menjatuhkan dirinya ke arah penari tersebut.

"Kamu yang salah, kenapa salahkan saya?"

"Jelas-jelas kamu yang salah, ketukannya itu ke kiri bukan ke kanan. Kamu menghadapku dan akupun bingung jadinya," jelas Serra berdebat.

"Raden Ayu!" teriak Roosita sehingga membuat penari yang adu mulut itu terdiam.

"Raden Ayu?" bisik penari itu terkejut. Kemudian teman-teman penari lain juga lebih terkejut karena baru melihat putri raja potugis itu. Kulitnya yang lebih putih dengan mata birunya membuatnya berbeda dari yang lain. Semuanya diam dan memilih untuk tidak berbicara.

"Raden Ayu, Sasmitha. Panggil dia dengan gelarnya, kamu kurang ajar sekali melawannya." Roosita berjalan kedepan Sasmitha—penari kerajaan yang kini menunduk dalam.

"Mohon maaf, Gusti Roos. Saya mohon ampun."

"Karena ketidak sopananmu, kamu dikeluarkan dari grup penari kerajaan dan kamu tidak akan tampil di malam jamuan bersama Raja Tedjo." Roosita mengusir Sasmitha secepat mungkin yang membuat Serra marah.

"Tunggu, dia tidak sepenuhnya bersalah. Apa yang Anda lakukan?" Serra tidak terima dan menentang Roosita.

"Tidak bersalah? Lantas jarikmu sobek yang membuat orang lain bisa melihat sesuatu yang harus kamu jaga itu bukan salahnya? Jika dia tidak salah mengambil langkah seperti katamu barusan, dia tidak akan menyebabkan kekacauan ini."

Alis Serra mengkerut. "Aku berkata seperti itu karena, pertama dia memang salah mengambil langkah, dan kedua aku sengaja menjatuhkan diri karena kehilangan keseimbangan yang membuat jarikku sobek."

"Aku tidak pernah menjilat ludahku sendiri. Perintah sudah ku titahkan, dan tidak bisa ditarik. Lain kali, jaga ucapanmu Raden Ayu, karena ada orang lain yang mungkin terkena imbasnya. Akan banyak orang yang tidak bersalah karena kamu tidak berhati-hati, cucuku." Roosita menepuk kipasnya di antara leher Serra yang terdapat noda hitam. "Lain kali datang tepat waktu dan jalankan tugasmu. Mengaduk rendang bukan tugasmu, dan aku tidak menolerir orang yang tidak disiplin. Masuk ke kamarmu dan jangan keluar sampai besok."

"Apa? Sampai besok? Apa aku akan menjadi tawananmu?" sindir Serra sinis.

Sekar Mirah yang berada disana segera menjadi tameng untuk Serra dan menahan wanita itu agar tidak mendekati ibunya. "Raden Ayu, kita kembali ke kamar ya?"

"Aku tidak mau, aku ingin keadilan."

"Keadilan apa Putri Raja?" jawab Roosita menyebalkan dan membuat Serra siap mengamuk. "Bukankah pelajaran untuk hari telah selesai? Kenapa kalian semua masih disini?" ucap Roosita dan membubarkan sesi tari pada hariini.

"Ini tidak adil!" seru Serra sebelum benar-benar dibawa pergi oleh Sekar Mirah.

"Raden Ayu, tenangkan dirimu." Sekar Mirah menyuruh Serra untuk menarik dan membuang napasnya perlahan-lahan. "Aku tidak bisa tenang, nenek tua itu selalu saja bersikap sesuka hatinya!"

"Gusti Roos, Raden Ayu atau kamu bisa memanggilnya Eyang Putri seperti Archie memangilnya." Sekar Mirah membenarkan panggilan Serra kepada Roosita.

"Apa salahnya? Toh, dia memang sudah tua. Mereka berdua sama, sama-sama suka semaunya," desis Serra tertahan dan tanpa sengaja mengeluarkan logat jawa lamanya.

"Mereka, Raden Ayu?"

"Para Eyang. Mereka suka sesuka hati. Eyangku juga begitu, dia adalah Ratu paling berkuasa dan sesuka hati sejagad raya. Aku sangat membenci ratu yang menggunakan kekuasaannya untuk mengatur orang lain," geram Serra merobek jariknya sehingga yang tersisa hanyalah celana dalam yang ditutupi oleh kebayanya.

Kini Sekar Mirah mengerti, mengapa menantu kakaknya itu sangat membangkang dan kurang ajar. Karena dia ditekan, sehingga apapun keinginnya tidak bisa didapatkan dengan mudah. Daripada dia terus memohon dan tak pernah diberikan, dia lebih baik membangkang sekalian.

TBC

SERCHIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang