BAB 19

22 5 1
                                    

Gusti Tedjo memasuki kamar temaram dengan ranjang tunggal yang memiliki pilar dan kelambu di keempat sisi pilarnya. Lemari antik besar sederet dengan meja rias bercermin oval yang memiliki ukiran rumit dari kayu jati bersandar di dinding. Pria itu dapat mencium aroma teh dan minyak angin yang khas. Ia menyusuri dengan langkah pelan, istrinya–Thamira membantunya berjalan hingga ke tepi ranjang.

Ia memandang wajah keriput ibunya, rambutnya sudah tidak hitam lagi. Bibirnya sudah tidak setegas dulu tetapi garis kaku itu masih bisa terlihat. Gusti Tedjo mengenggam jemari ibunya, hangat. Lalu ia ciun jemari itu satu persatu dan membawanya ke pipinya. Dirasakannya kehangatan yang sudah lama ia rindukan, ibunya, pelita hidupnya.

"Bu, Daom disini, Bu," bisiknya pelan seraya menggesekkan tangan keriput itu ke pipinya. "Aku kembali, Bu."

Mata sayup itu perlahan terbuka, dan hal pertama yang Roosita lihat adalah anak sulungnya–Dasarata Omkara Tedjo, Daom kecilnya. Pria itu masih sama seperti dulu. Menggemaskan dan peduli kepadanya, mirip sekali dengan mendiang ayahnya. Roosita tersenyum tipis dan menyugar rambut hitam pekat milik Gusti Tedjo. Disayangnya pria itu lalu mengambil tangan anaknya dan menciumnya dengan lembut.

"Kamu kembali, Daom ku," lirihnya menyungging senyum lebar.

"Iya, Ibu. Daom disini."

Mata Roosita mencari-cari. Ia memandangi satu persatu orang yang berada di dalam kamarnya. Istri dari anaknya–Sekar Thamirah Widodo yang dibelakangnya berdiri Dasarata Prabawa Kawi dengan tangan yang digenggam kedepan terlihat khawatir. Lalu tidak jauh ada Sekar Mirah yang juga menatapnya dengan kasihan, disampingnya ada Asmara Lalitja Sanggadiatmadja yang ia kenal suka merawatnya. Di seberang kasur ada cucunya yang terlahir dari pasangan anak bungsunya. Roosita tidak dapat menahan tangisnya. Nenek tua itu menangis dan memanggil Archie dengan tangannya.

"Chie, sini." Archie yang diam tiba-tiba mendekat dan memeluk eyang putrinya dengan erat. "Eyang bertemu papamu, Chie. Apa waktu Eyang tidak banyak lagi?"

"Ibu, jangan bicara seperti itu," tegur Gusti Tedjo kepada ibunya.

Roosita masih menangis, sementara itu Serra yang hanya diam di belakang saudara-saudara Archie mencoba melihat-lihat kembali isi kamar Roosita. Tidak seperti kamar neneknya yang dipenuhi lukisan dan ornamen-ornamen antik. Kamar ini terlihat lebih sederhana dan ... hangat.

Serra memandang keluarga itu dengan lama. Hangat. Itu yang Serra rasakan.

"Prabawa, dimaan papamu?" tanya Roosita tiba-tiba.

"Iya, Eyang?" Prabawa mendekat dan memijat kaki neneknya.

"Papamu dimana?" ulang Roosita sedikit kesal.

"Oh, masih di Jakarta, Eyang. Hari ini kebetulan jadwal MRI-nya. Jadi mungkin kalau sudah membaik, papa akan balik kesini," jawab Prabawa tenang.

"Anakku..." tangis Roosita kembali pecah. Ia meraung dan memeluk Gusti Tedjo erat. "Antarkan aku kepada Hariya, Daom. Dia sakit sendirian disana. Ibu mau ketemu Hariya."

"Ibu, Hariya akan baik-baik saja. Setelah ibu membaik, kita akan kesana." Gusti Tedjo mencoba menenangkan ibunya.

"Iya, Eyang. Papa hanya harus mengecek otaknya saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Eyang adalah prioritas untuk saat ini. Papa juga sudah tahu, dan mengirimkan Mama untuk merawat Eyang sementara. Semua akan baik-baik saja Eyang," ucap Prabawa lembut sambil terus memijat kaki neneknya.

"Aku merasa tidak berdaya, anak-anakku kesakitan dan aku disini merepotkan mereka. Aku sudah tua dan tidak banyak waktu lagi untuk mengurus semuanya. Aku merasa bersalah karena tidak ada untuk kalian." Roosita terus menangis seperti bayi sampai Gusti Tedjo tertawa. "Ibu, kesehatan ibu yang utama. Kesehatan aku dan adik-adikku tidak menjadi masalah jika ibu sehat."

"Eyang, semuanya akan baik-baik saja. Eyang akan kembali sehat esok hari. Eyang hanya sedang banyak pikiran. Orang sakit dilarang berpikir, Eyang." Archie menceramahi neneknya sambil mengelus lengan Roosita dengan lembut. Ia juga sesekali melirik istrinya yang berada di belakang sana dengan dunianya.

"Eyang Roosita, semua orang disini mendoakan kesehatan Eyang. Jadi Eyang tidak perlu khawatir, pikirkan saja setelah membaik Eyang akan jalan-jalan dan menyeduh teh di kebun teh Lembang!" seru Asmara Lalitha bersemangat kepada Roosita. Nenek tua itupun menyungung senyumnya. "Lalithaku, terima kasih atas ucapan manismu. Setelah aku membaik aku ingin ke kebun teh di Lembang."

"Itu semua bisa terwujud kalau Ibu berjanji akan sehat besok hari," balas Thamirah tersenyum menggoda kepada Lalitha.

"Iya benar. Jika Eyang membaik besok hari, lusa kita akan ke kebun teh." Lalitha tersenyum menanggapinya.

"Benarkah? Aku akan istirahat sekarang kalau begitu. Kalian semua sudah bisa keluar. Aku akan sembuh besok, dan kita semua akan ke kebun teh untuk merayakannya."

Semua yang berada di kamar itu tertawa dan satu-persatu meninggalkan ruangan. Serra yang sedari tadi mengamati semuanya, tetap berdiri di tempatnya karena suaminya yang tetap berada di sisi Eyangnya saat itu. "Ada apa Chie?" Archie yang masih memijat lengan neneknya tersenyum kepada Roosita.

"Aku ingin memperkenalkan istriku dengan benar kepada Eyang."

Mata Roosita kini akhirnya menangkap sosok wanita yang masih beridiri di sudut ruangan disamping lemari bajunya. Wanita itu masih melihat-lihat isi kamar dengan polosnya.

"Eyang sudah mengenalnya. Jadi Eyang rasa, Eyang tidak perlu mengenalnya lagi."

"Serra, bisakah kamu mendekat?" ujar Archie menunjuk Serra dengan dagunya agar istrinya bisa lebih dekat dengan Roosita.

Serra berjalan pelan dan berdiri disamping ranjang Roosita. "Eyang, ini istriku–Abrata Serra Rue de Leon, putri mahkota Portugal yang pernah tinggal di Indonesia dulu dan saat ini menjalani karirnya sebagai pemilik kelas model terkemuka di New York, seorang mentor yang cerdas, dan seorang wanita hebat."

"Aku ingin Eyang lebih mengenalnya, lebih dekat dengannya, karena aku tidak tahu kapan aku akan terus bersamanya. Setidaknya, Eyang dapat menjadi temannya jika aku tidak ada," ucap Archie sendu.

"Ngomong apa kamu Chie? Kamu akan berumur panjang dan akan selalu ada disisi istrimu. Jangan berbicara seperti itu," tegur Roosita kepada cucunya.

"Sebelumnya, aku ingin meminta maaf kepada Eyang. Karena tidak mengumumkan pernikahanku." Archie menunduk hormat sementara Serra kebingungan. "Aku bukannya ingin melanggar perintah Eyang. Aku hanya merasa ini jalan yang tepat. Menikahi Serra dan membatalkan pernikahanku dengan Lalitha."

Serra tertegun sesaat ketika mendengar kalimat itu.

"Eyang tahu, kamu tahu yang terbaik untuk dirimu sendiri."

"Aku ingin Eyang tidak terlalu dekat dengan Lalitha. Karena mungkin akan menganggu perhatian Eyang kepada istriku juga." Archie melirik Serra yang tengah meremas lengannya. Archie tidak peduli dengan tatapan Serra yang seperti ingin menerkamnya. "Istriku adalah cucu Eyang juga. Jadi, aku rasa Eyang juga harus menyayanginya."

Roosita terbatuk dan melirik Serra yang tengah menautkan alisnya, kesal kepada suaminya mungkin. "Eyang tahu, Archie."

"Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?"

Archie tersenyum manis. "Tidak ada Eyang. Aku hanya ingin mengatakan itu. Kalau begitu, kami permisi."

Langkah keduanya akan keluar dari kamar, sampai akhirnya Roosita bersuara yang membuat keduanya berbalik.

TBC

SERCHIEWhere stories live. Discover now