BAB 17

32 4 1
                                    

"Maafkan aku telah menganggu waktu kalian. Tetapi Eyang Putri membutuhkan pertolongan," ucap Arum, pelayan istana khusus yang menjaga Roosita. Kehadiran Arum membuat Archie langsung berlari menuju kamar neneknya dan dengan panik ia melihat Roosita tengah sesak napas dengan tangan yang mencengkram dadanya.

"Eyang! Panggil dokter!"

"Dalam perjalanan, Raden Mas."

"Eyang!"

Jantung Serra berdegup kencang. Ia sangat terkejut akan reaksi Archie yang begitu cepat meninggalkannya. Serra memegang dadanya yang masih berdebar. Apa yang baru saja dia lakukan? Dia ingin mencium Archie? Serra membuang pikirannya dan ikut menyusul Arum dan suaminya.

Serra masuk ke kamar setelah Arum kembali berlari keluar, ia  melihat nenek dari suaminya yang seperti meregang nyawa. Serra segera berdiri disamping Roosita dan melihat sekeliling wanita tua itu. Tangannya terus bergerak seperti mencari-cari sesuatu. Dahi Serra mengkerut sambil bertanya kepada suaminya, "Apa Eyang pernah asma sebelumnya, Archie?"

Serra pun dengan cekatan mengambil bantal lain yang berada disana dan meletakkannya dibawah kepala sampai bahu Roosita. Ia memastikan bahwa nenek suaminya mendapatkan udara yang banyak dengan posisi tersebut. Serra juga membuka kancing piyama Roosita dan memberikan wanita itu akses bernapas sebisanya.

"Aku tidak tahu, Serra. Eyang Putri tampak baik-baik saja selama ini," jawab Archie panik.

"Apa yang terjadi?" Sekar Mirah yang masih berusaha mengikat piyama tidurnya berjalan cepat menepi di ujung kasur Roosita. Rambutnya yang tersanggul asal dan kantung mata menggelap itu menunjukkan bahwa ia tidak pernah tidur cukup selama ini.

"Ibu, ibu kenapa?" tanyanya panik dan berusaha mencari tahu ada apa dengan ibunya.

Bahkan Prabawa yang masih dengan wajah kantuknya berdiri disamping Archie dengan pandangan bertanya-tanya.

"Mas Archie ada apa dengan Eyang?" tanya Prabawa panik dan ikut membantu Serra menaikkan kepala Roosita ke atas bantal yang lebih tinggi.

Seluruh pelayan sibuk menghubungi dokter dan berlalu lalang kesana kemari. Sementara itu Asmara Lalitha Sanggadyatmajda—sepupu jauh Archie berjalan santai menggeser Serra dari tempatnya dan dengan perlahan memindahkan bantalan yang telah Serra berikan. "Eyang, apa Eyang bisa mendengarku?"

Roosita menggeleng dengan lemah dan cengkeraman dadanya semakin kuat.

"Siapa yang meletakkan bantalan ini?" Semuanya melihat ke arah Serra. Lalitha menatap sinis ke arah istri dari sepupunya itu. "Eyang membenci tidur dengan banyak bantal dikepalanya. Jangan sembarangan!" Lalitha menepis tangan Serra yang ingin mengambil kembali bantalan itu.

"Tapi, dia sedang asma. Apa kalian tidak diajarkan penanganan cepat menangani orang yang asma?!" Serra membalas tak kalah sinis.

"Aku tahu Eyang sedang asma dan kamu jangan sembarangan menyentuh orang paling penting di Akkadiamadjantara," jawab Lalitha tegas dengan alis berkerut.

"Lalitha letakkan kembali bantalannya," tegas Archie menyuruh sepupunya itu untuk meletakkan kembali bantalan yang telah ia singkirkan. "Eyang tidak suka dua bantal di kepalanya, Archie."

"Tapi Eyang sedang asma, Lalitha!" seru Archie menepis lengan Lalitha yang ingin mengambil bantalan itu kembali.

Sementara prabawa menenangkan Roosita dengan menyuruhnya untuk terus bernapas dan tetap tenang karena dokter kerajaan akan segera tiba.

"Kalian akan terus berdebat, sementara nenek tua ini meregang nyawa?!" seru Serra dengan suara bergetar karena melihat reaksi Roosita yang seperti akan kehilangan kesadaranya. Jika Roosita memiliki asma, maka dimana inhalernya? "Inhalernya? Dimana inhalernya?!" Serra dengan panik bertanya setelah menyadari bahwa penolong asma itu tidak ada di dekat Roosita.

SERCHIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang