BAB 26

15 1 0
                                    

Pawon Ageng, dapur istana yang berdiri sendiri tidak jauh dari istana Antawirya. Dapur besar ini didominasi oleh perempuan, serta dipimpin langsung oleh Nyai Apsarini-seorang abdi dalem yang mewarisi salah satu posisi tinggi di kerajaan Akkadiamadjantara dari neneknya-Nyai Hapsah. Nyai Apsarini memimpin Pawon diusia yang masih sangat muda untuk menjadi kepala dapur. Walaupun umurnya tidak semudah para pelayan lain di istana. Beliau adalah salah seorang yang sangat dihormati, karena ia pernah menjadi dayang bagi keluarga kerajaan. Bahkan beberapa kali, terdengar berita simpang siur akan dirinya yang ternyata pernah ingin dijadikan selir oleh Gusti Raja Tedjo.

Kecantikan Nyai Apsarini tak luntur di usia yang sudah menginjak kepala lima. Dia masih sangat tegas dan disiplin dalam menjalani pekerjaannya. Termasuk mendidik pelayan-pelayan Pawon agar tidak melakukan kesalahan. Ia ingat betul, apa saja hidangan yang harus di hidangkan dan apa saja larangannya. Semua itu juga sudah tertulis di artefak Pawon. Masing-masing pelayan, jika ingin menjadi abdi dalem Pawon maka ia harus bisa menghafal daftar panjang buku konsumsi keluarga kerajaan. Semua itu dilakukan, agar tidak ada kesalahan yang dapat mencoreng nama Pawon Ageng.

Nyai Apsarini, akan selalu memastikan masakan yang dimasak layak untuk dimakan dan memenuhi cita rasa turun temurun yang telah diwariskan. Ia akan mencicipi satu persatu masakan yang dimasak, jika ia setuju maka makanan itu dapat dihidangkan. Sebelum dihidangkan di istana, makanan itu harus di cicipi sekali lagi oleh pelayan yang bekerja khusus untuk mencicip apakah ada racun, atau bahan makanan yang dilarang didalam istana. Apalagi karena beberapa keluarga kerajaan memiliki alergi terhadap beberapa bahan makanan, pelayan itu harus bekerja ekstra untuk menentukan apakah sajiannya layak atau tidak.

"Asin, Sri. Ini sudah kali ketiga kamu memasak gudeg yang asin. Warnanya boleh saja hitam menggelap, tetapi rasanya jauh dari harapan. Kamu mau membuat lidah Gusti Tedjo sakit, Sri?"

"T-tidak, Nyai. Maafkan saya, Nyai."

"Keluar." Sri begitu terkejut mendengar kata yang keluar dari mulut Nyai Apsari.

"Ya, Nyai?"

"Apa kamu tidak punya kuping, Sri? Keluar!"

Pelayan itu dengan cepat menyibak jariknya dan keluar dari Pawon. Sementara Nyai Apsari mendesah berat mengetahui kinerja anak buahnya jauh dibawah harapan. "Kalian semua bermain-main disini? Apa yang kalian masak adalah hidangan untuk Sang Raja, apa kalian tidak takut kepadanya? Kenapa seenaknya dalam bertindak?"

"Jika tidak bisa, minta ajarkan. Jika tidak mampu, minta bantuan. Jika melakukan kesalahan, minta ampunan. Bisakah kalian serius untuk satu hari saja? Akh..." Nyai Apsari memegang perutnya yang sakit. Sakit perut berkepanjangan yang ia rasakan sangatlah menyiksa. Sejam dua tahun yang lalu, perutnya terus mengisyaratkan dirinya untuk beristirahat. Tetapi, Nyai Apsari tidak akan melakukan itu sampai napas terakhirnya. Karena baginya, melayani Sang Raja adalah kewajiban di atas nyawanya. Jika bukan dia, maka siapa lagi yang akan mengurus Pawon Ageng.

"Nyai? Apa Nyai baik-baik saja?" tanya pelayan yang setia mengikutinya terlihat sangat khawatir.

"Aku baik-baik saja, Dayita," jawab Nyai Apsarini. Ia kemudian kembali menegakkan tubuhnya. Mereka berjalan kembali untuk memastikan semua makanan akan siap dalam tiga puluh menit lagi sebelum makanan it diantarkan kedalam istana.

"Gawat, Gusti Ruumini sedang menghukum abdi dalem," ucap seorang pelayan gemetaran.

"Apa kita juga akan terkena imbasnya? Apa Nyai Apsari akan melaporkan kita?"

"Aku tidak ingin mati," sahut yang lainnya.

Sementara itu, Sri berlari memasuki Pawon lagi dengan terengah. Ia menghampiri teman-temannya dan dengan terbata dia mengatakan, "I-itu, S-surti! Itu Surti! Yang dihukum Surti! Pelayan, Raden Ayu yang baru."

"Apa? Kita harus melihatnya."

Baru saja, mereka akan melangkahkan kakinya. Nyai Apsari berdiri dengan tegapnya, menatap tajam mereka. "Apa kalian juga ingin seperti pelayan itu? Kalian ingin aku adukan karena tidak benar memasak?"

"T-tidak Nyai," jawab mereka serentak.

"Tunggu apa lagi? Waktu kalian tidak banyak," ucap Nyai Apsari dengan mata membesar.

"B-baik, Nyai."

Ketika Nyai Apsari berbalik, seorang penjaga mendatanginya dan mengatakan bahwa ada seseorang dari istana yang ingin bertemu dengannya. Nyai Apsari mempersilakan tamu penting itu masuk. Betapa terkejutnya ia, ketika melihat wanita dengan piyama tidurnya, wajahnya jauh dari kata lokal. Detik itu juga Nyai Apsari tahu, bahwa dia adalah majikan dari pelayan yang sedang dihukum Gusti Ruum.

"Apa yang membawu kemari, Raden Ayu?" tanya tidak suka, tetapi tetap sopan.

"Aku mencari Surti, apa dia ada disini?"

Nyai Apsari menunduk dalam. "Maaf, Raden Ayu. Surti tidak ada disini."

"Apa kalian tahu, dia ada dimana?" tanya Serra lagi masih dengan kepanikannya.

Nyai Apsari menghela napas. "Tidak, Raden Ayu."

Sri dengan teman-temannya membulatkan mata mereka ketika Nyai Apsari berbohong kepada Raden Ayu baru itu. "Nyai?" Sri bersuara dan langsung mendapat tatapan tajam dari penguasa Pawon itu.

"Surti berada di Panggung Pukul, Raden Ayu!" seru seorang pelayan yang sangat ketakutan.

Mata Nyai Apsari semakin lebar dan ia tidak sempat mencegah Raden Ayunya, karena Serra berlari dengan sangat kencang kala itu. "Raden Ay-"

"Sri, Dayita! Apa yang kalian lakukan?! Kita dilarang ikut campur urusan istana. Tetap diam, dan jangan ikut campur," ucap Nyai Apsari tidak bisa terlalu marah karena nyeri di perutnya tidak dapat ia tahan lagi. "Terutama kamu, Dayita, tutup mulutmu," desisnya sebelum jatuh dan hilang kesadaran.

"Nyai! Nyai Apsari!"

-

TBC

SERCHIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang