3. Tidak Bahagia

18 4 0
                                    

"Kemana anak itu pergi?" Ibu mertua bergumam memandangi halaman depan rumahnya. Menunggu kepulangan sang menantu.

Sudah memasuki waktu siang, dan keluarga Ozan sama sekali belum ada yang makan. Mereka semua menunggu kepulangan Lia dalam keadaan kelaparan. Kemana sebenarnya Lia pergi?

Tari memandangi putri semata wayangnya dengan tatapan sulit di jelaskan. Dia sebenarnya senang karena sekarang putri semata wayangnya itu makan dengan sangat lahap. Saat bertemu dengan Lia tadi, Tari langsung bertanya apakah putrinya sudah sarapan atau belum. Dan Lia menjawab belum, maka dari itu Tari mengajaknya untuk sarapan di sebuah kedai nasi tidak jauh dari pasar.

Tapi, Tari sama sekali tidak menyangka jika Lia akan makan dengan lahap seperti ini. Pak Anton yang duduk beberapa meja dari mereka juga sempat terkejut melihat anak dari bosnya itu makan selahap itu. Bahkan bisa di katakan Lia mengalahkan kelahapannya. Pak Anton tidak pernah melihat Lia makan selahap itu sebelumnya.

Lia seperti manusia yang tidak di beri makan selama berhari-hari.

"Lia, apa kau nggak makan tadi malam?" Tari bertanya lembut. Dia begitu prihatin dengan tubuh putrinya yang semakin kurus seperti lidih. Padahal dulu Lia berisi dan tidak sekurus ini. Melihat Lia yang tidak menjawab, dan lebih fokus pada makanannya membuat Tari tidak terlalu mempermasalahkannya. Dia membiarkan putrinya itu makan terlebih dahulu sampai kenyang.

Lia makan hingga dua piring. Ya, perempuan itu hari ini sungguh sangat kelaparan.

Tari tersenyum tipis memandangi putrinya yang sudah kekenyangan. "Udah kenyang?"

Lia mengangguk tersenyum.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tari mulai bertanya penasaran.

Lia bingung harus menceritakannya mulai dari mana. Selama pernikahannya berlangsung, Lia tidak pernah cerita apa yang sebenarnya terjadi. Ia selalu memendamnya sendirian.

"Apa semalam kau nggak makan?" Tari bertanya lagi. Kali ini dia ingin mengetahui hal ini terlebih dahulu.

"Makan kok, Ma."

"Jam berapa?" Sebagai sosok ibu, Tari tahu betul ada sifat putri semata wayangnya yang berubah. Lia bukan tipe perempuan yang rakus dalam makan berat. Dia lebih suka ngemil seperti jajanan cepat saji.

"Siang." Lia menjawab takut.

"Siang aja?" Tari memastikan, dan hanya di balas anggukan saja oleh Lia. "Pake apa?"

Lia memainkan kukunya, dia takut memberitahukan hal ini pada Tari. Takut jika terjadi kekacauan setelah ini.

"Lia, kau makan pake apa?" Tari bertanya lagi kali ini nada suaranya cukup tegas.

"Cuma nasi dan garam."

"Apa Ozan sama sekali nggak punya duit untuk membeli lauk?" Tari bertanya lagi. Wanita parubaya itu ingin mengatahui detail masalah yang menimpa putrinya. Jika saja memang benar Ozan tidak punya uang, maka Tari tidak akan segan-segan untuk mentransfer beberapa uangnya untuk menantu serta putrinya.

"Bukan itu, Ma." Lia meremas ujung dasternya. Dia sungguh sangat ketakutan. "Aku nggak di bolehin makan pake lauk sama Ibu. Katanya lauknya bakalan kurang buat yang lain kalau aku ambil."

Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Lia, Tari merasakan hatinya seperti di tusuk oleh ribuan jarum. Anak yang dia besarkan penuh dengan kasih sayangnya, sekarang telah menyimpan luka yang cukup dalam. Mata Tari berkaca-kaca, dan tanpa dia tahan air katanya menetes keluar mengenai pipi.

Dia tidak pernah membayangkan akan ada seorang Ibu yang tega melakukan hal sejahat itu pada putrinya.

"Ceritakan semuanya sama, Mama." Tari menangis suaranya bergetar. "Semuanya, ceritakan semuanya."

ALLOW ME TO FLY [HIATUS]Where stories live. Discover now